Dalam momentum agustusan ini, banyak elit partai yang memamfaatkannya sebagai ajang untuk membangun citra diri dan mengenalkan diri kepublik. Ada beragam cara. Ada yang mensponsori berbagai kegiatan sosial dan olah raga. Ada yang memasang spanduk dan bagi mereka yang berduit melakukan kontrak iklan dengan TV.
Setelah Prabowo Subianto, Sutrisno Bachir, Wiranto, Rizal Mallarangeng dan kini giliran Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang beriklan.
Agustusan kemudian menjadi ajang kontestasi memperebutkan pengaruh dibenak pemilih. Padahal mestinya mereka mengajak semua elemen bangsa untuk berefleksi tentang makna kemerdekaan bagi Indonesia yang masih saja terpuruk seperti yang mereka gambarkan. Saya apresiasi dengan Ikan Amin Rais. Terlepas apakah itu juga merupakan bagian dari move dia untuk kembali ikut bertarung. Tetapi pesannya cukup jelas. Reflektif dan disampaikan dalam bingkai nasionalisme Indonesia.
Sebenarnya Amin lewat iklannya “Selamatkan Indonesia” ingin menggugah kepada mereka kaum nasionalis, kepada mereka yang mengaku Indonesia sejati, kepada mereka para pengagum pancasila bahwa negara dalam keadaan tidak normal. Negara kita dalam ketakmerdekaan.
Negera ini dirampas. Diperebutkan seperti tulan-tulan oleh para juragan minyak dan tambang mineral. Negeri ini diambang kehancuran yang nyata. Dimana-mana masyarakat sangat pesimis dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Kini rakyat tak butuh pengaruh. Mereka cukup sederhana berfikirnya. Bisa makan, bisa beli sayur. Bisa beli ikan. Mereka sudah lebih dari cukup.