Tulisan Alin Liana – Mahasiswa S2 Biologi UGM, alumni SMA 1 Selayar – dengan tajuk “Konservasi Spesies Endemik” di website selayar online sangat menarik. Ia melakukan potret terhadap beberapa spesies endemik flora dan fauna di wilayah Wallace. Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia; di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia. Garis ini dinamakan atas Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan yang jelas pada saat dia berkunjung ke Hindia Timur pada abad ke-19.
Dari jenis fauna misalnya, ada Tarsius (bahasa Selayarnya, podi), Rukun (sejenis binatan malam), ratusan jenis ikan karang, dll. Sedang dari jenis flora yang penting di selayar ialah jenis kelapa dan jeruk selayar atau dalam bahasa lokal disebut dengan munte cina. Dari sisi sejarah, sebenarnya penamaan ini pun perlu ditelusuri. Kenapa disebut munte cina? Apa memang ada hubungannya dengan beberapa situs peninggalan cina yang ada di Selayar?
Munte cina atau dalam beberapa refrensi ilmu pertanian disebut jeruk keprok (species; Citrus reticulata). Tanaman ini dibudidayakan di Selayar sudah cukup lama oleh petani. Menurut Roesmiyanto dan Hutagalung (1989) jeruk di introduksi ke Selayar tahun 1925. Munte cina merupakan komoditas unggulan hortikultura yang spesifik. Dikatakan spesifik karena tidak dimiliki didaerah yang lain, sehingga merupakan keunggulan absolut. Sentra-sentra penghasil jeruk di Selayar misalnya di Batangmata (Kecamatan Bontomate), Subur (Bontoharu), Biring Balang, dan Barang-Barang (Bontosikuyu).
Secara statistik, perkembangan jenis flora ini sangat mengkhawatirkan. Data statistik Selayar merekam terjadinya penurunan luas lahan dan produktivitas jeruk sejak tahun 1990-an. Pada tahun 1994 produktifitas mencapai 64 kg/pohon turun menjadi 20 kg/ pohon pada tahun 1997. Data tiga tahun terakhir menunjukkan trend penurunan produksi jeruk keprok, tahun 2005 (21.409,24), tahun 2006 (3.373,72), dan tahun 2007 (2.289,50). (Selayar dalam angka, 2008). Jika diperhatikan data-data ini, memang amat memprihatinkan, dan sejatinya menjadi cambuk bagi pemkab dalam mendorong produktifitas jeruk.
Saya ingin merefleksikan sedikit bagaimana tanaman ini di era kejayaannya tahun 80-an. Waktu itu di kampung saya dan mungkin juga dibeberapa tempat di Selayar, jeruk begitu melimpah, juga dengan harga yang relatif kompetitif. Sedemikian banyaknya buah (tarra’ buah) beberapa tangkai pohon jeruk patah (sappe) karena tidak mampu menyanggah buah jeruk yang terlalu banyak. Saya masih merasakan bagaimana membawa jeruk dari kebun ke rumah (a’ lembara) yang puluhan ribu buah. Banyak petani di Selayar yang menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anaknya dari tanaman jeruk ini. Singkat kata, jeruk ini merupakan episentrum ekonomi petani Selayar di samping kelapa dan kemiri.
Involusi budidaya jeruk, meminjak istilahnya Clifort Gertz – antropolog kebangsaan Amerika yang banyak menulis tentang Jawa, termasuk bukunya Involusi Pertanian – disebabkan oleh kematian tanaman jeruk. Kematian tanaman jeruk di Selayar disebabkan oleh penyakit yang namanya citrus vein phloem degeration (CVPD), busa, dan blendok. Penyakit ini disebabkan oleh sejenis bakteri Liberobacter asiaticum. Bakteri ini menyerang pembuluh ploem yang mengakibatkan pembuluh ploem tidak bisa melakukan fungsinya untuk mentranformasikan berbagai kebutuhan hara (baik makro dan mikro) ke bagian-bagian tanaman yang membutuhkan lewat proses fotosintesis. Akibatnya pohon jeruk akan mengalami gejala misalnya daun dan tajuk menguning, daun kaku, dan terlihat bercak klorosis.
Ketiga penyakit diatas telah mengakibatkan kepunahan sebagian besar sentra-sentra produsen jeruk di tahun 1070-an seperti di Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung.
Agar munte cina ini tidak punah, maka harus ada langkah-langkah strategis, misalnya dengan revitalisasi jeruk keprok agar bisa bertahan dalam waktu yang panjang, sebab jika tidak, maka munte cina ini bisa punah atau musnah digilas oleh keganasan virus dan dimasa depan, kita hanya mendengar cerita-cerita tejayaan masa lampau. Oleh karena itu yang harus dilakukan; Pertama, pemerintah Kep Selayar harus melakukan pemetaan sejauh mana tingkat keparahan atau pandemi penyakit tersebut. Dengan adanya mapping seperti itu bisa dilakukan langkah-langkah berikutnya.
Kedua, menghimbau agar petani Selayar kembali menanam jenis jeruk ini biar tidak punah. Tentunya dengan memperhatikan aspek-aspek teknis budidaya yang baik. Harus ada penangkaran benih-benih lokal yang dilakukan oleh petani sendiri. Proses ini memang butuh waktu, tetapi dalam jangka panjang hal ini sangat positif. Jika produksi jeruk membaik (hulu), maka di hilir pengolahan dan pasca panen bisa dimaksimalkan. Misalnya sari buah jeruk, baik untuk kalengan maupun pasteurisasi. Ini bisa menunjang (lingk) dengan sektor pariwisata sebagai oleh-oleh khas menambah oleh-oleh emping yang selama ini diandalkan. Teknologinya sederhana dan saya kira bisa dikerjakan oleh teman-teman di Selayar.
Ketiga, jika perlu pemerintah menyediakan lahan khusus yang dimiliki oleh pemerintah semacam kebun raya, tapi tidak terlalu luas. Pemerintah selayar bisa menanam berjenis-jenis flora asli Selayar di kebun itu, termasuk tanaman jeruk atau jenis fauna; rusa selayar, burung nuri yang dulu banyak di jampea. Ini bisa di integrasikan (lingk) dengan pusat reakreasi semacam water boom atau pelatihan (outbound). Saya pikir dari sisi potensi pasar cukup besar jika ingin digarap komersial, sebab masyarakat Selayar itu butuh hiburan.
Keempat, menggerakkan tenaga fungsional penyuluh yang secara kelembagaan sudah ada di Selayar. Tenaga penyuluh pertanian ini haruslah memiliki kompetensi untuk memfasilitasi komunitas dan terutama petani jeruk. Penyuluh harus menjadi mitra yang setara dengan petani dalam mendorong revitalisasi jeruk selayar ini. Evaluasi saya terhadap penyuluh di Selayar, mereka belum bisa menangkap roh pertanian, sehingga menjalankan aktivitasnya sebagai sebuah rutinitas semata. Tanpa memaknai tupoksinya agak susah. Beruntunglah penyuluh pertanian di Selayar belum jualan pestisida, pupuk atau saprodi lainnya seperti di beberapa wilayah yang saya jelajahi dan fasilitasi perencanaan pembangunan pertaniannya.
Tidak banyak waktu buat kita, dua wilayah yang sangat massif mengembangkan jeruk Selayar saat ini adalah Kabupaten Bantaeng (Sulawesi Selatan) dengan Kabupaten Bangli, kintamani (Bali). Mereka jor-joran mengembangkannya sebagai keunggulan diwilayahnya. Dan 4 atau 5 tahun kedepan, mereka akan tampil menjadi pesaing berat jika kita tidak mampu menangkap peluang dan kecenderungan perubahan yang terjadi.
Akhirnya, saya sebenarnya bermimpi, Selayar ini bisa menjadi area studi banyak orang. Dari sisi ilmu-ilmu alam, seperti Biologi bisa melakukan riset berbagai hal tentang flora dan fauna yang membujur dari utara sampai ke selatan, dekat flores. Dalam bidang ilmu sosial, humaniora, dan budaya, Selayar juga menarik untuk dikaji bagaimana adat dan tradisinya, kehidupan sosial dan sebagainya.
Dalam islamic studies pun juga menarik, fenomena Muhdi Akbar dan termasuk historitas masuknya Islam, Kristen dan Hindu ke pulau ini. Semakin banyak peneliti datang ke Selayar, itu bertanda bahwa selayar memang fenomena ilmiah yang menarik.
Ada picnya gak bos ?
semoga tak benar2 punah
meski saya gak tahu jeruk selayar kayak gimana 🙂
KEBETULAN JERUK YANG SAYA KEMBANGKAN SEKARANG(BERUSIA 3 TAHUN) ADALAH JERUK SELAYAR YANG MENURUT PARA PETANI SANGAT TAHAN TERHADAP PENYAKIT DAN TIDAK TERLALU FANATIK TERHADAP SINAR MATAHARI(TETAP MAU BERBUAH WALAU SINAR MATAHARI YANG MASUK TIDAK TERLALU BANYAK). DATANG SAJA KE DESA BELANTIH KINTAMANI BALI. KALAU PAS MUSIMNYA PASTI DIKASI BUAT OLEH2
Siap pak Nanag, jenis jeruk ini kalau agroklimatnya pas, memang menjanjikan