Tidak Ada Akses bagi Petani Gurem


Petani gurem (peasent) adalah kelompok petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, dengan relatif tidak memiliki akses pasar dan regulaisi. Mereka adalah kelompok sosial yang sama dengan kita.

Kalau kita menginginkan hidup berkecukupan, mereka pun menghengdaki hidup yang demikian. Tetapi apa hendak dikata, petani gurem selalu dalam keadaan yang ditindas. Tidak mendapat kesempatan dan bahkan dikebiri lewat struktur sosial yang sangat tirani dan melabrak nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).

Mereka sah dijadikan ruang percobaan guna kepentingan yang berpunya (the have). Ketika ada produk baru hasil rekayasa bioteknologi transgenik, mereka adalah kelinci percobaan oleh pemilik modal dengan intervensi pemerintah. Lihatlah misalnya kasus kapas transgenik di beberapa daerah di Sulawesi Selatan.

Menjadi seorang petani adalah sisi lain dari kehidupan warga negara yang tak mungkin dapat melepaskan diri dari lilitan kemiskinan, cengkraman kesengsaraan, buaian kebodohan dan mirisnya janji yang berbalut kemunafikan.

Sejak krisis keuangan yang melanda Indonesia diawal 1997, diperkirakan angka kemiskinan di negeri ini mencapai 28 juta jiwa. Pada tahun 2001, jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat mencapai 37,1 juta jiwa atau sekitar 18,4 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan 55 persen dari penduduk miskin Indonesia adalah petani. Sungguh ironis memang berprofesi sebagai petani di negara bernama Indonesia. Mana harga tidak pernah beranjak dari titik awalnya, lebih hebat lagi karena harga ditentukan oleh pembeli, bukan penjual atau yang punya produk.

Para petani dengan cucuran keringat, banting tulang demi mencari sesuap nasi guna menyambung hidup. Mereka (petani gurem) bekerja dengan sangat bersahaja penuh dedikasi. Tetapi gabah mereka hanya dihargai Rp. 800,- per Kg – Rp. 1,000,- per Kg. Padahal berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2002, harga pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan untuk kualitas gabah kering giling sebesar 1,700,- per Kg gabah kering simpan Rp. 1,500,- per Kg dan gabah kering panen Rp. 1,230,- per Kg.

Lagi-lagi yang terkena imbas adalah para petani. Sementara disisi lain, banyak pejabat kantoran yang tidak tau apa yang hendak dikerja, kecuali menikmati fasilitas hasil pajak tanah dan bea beras import.

Lain lagi dengan bapak-bapak wakil rakyat yang katanya terhormat mereka berkantor digedung mewah dengan serba berkecukupan, melakukan negosiasi proyek dan membagi-bagi kue di komisinya masing-masing. Cuman dengan menelepon kiri kanan mereka sudah berkantong tebal dan pulan dengan katanya rezeki yang halal.

Para pengantor itu dengan mudah mendapatkan apa yang dia kehendaki. Mau safari ada, mobil dinas, fasilitas laptop, dan bahkan mungkin sampai fasilitas pakaian dalam ada.

Membandingkan kehidupan petani gurem dengan mereka para pengantor, pengacara, pekerja politik adalah hal yang salah dan tidak tepat. Ibarat langit dengan bumi. Sangat jauh perbedaannya.

Sementara pak tani hanya mampu mengakses makanan seperti “roti tawar” dan yah sekedar mengisi perut agar bisa bertahan hidup. Itulah makanan pak tani sehari-hari. Tidak pandang apakah layak gizi dan sehat secara medis. Lain halnya dengan para pengantor, apalagi yang ada digedung Rakyat mekera dengan sangat surplus sehingga bisa membiayai dan menghidupi para tim sukses dan aktivis penjual idealisme dengan sangat mewah.

Memang petani dan pertanian di negeri kita mengalami tragedi yang sungguh luar biasa. Meminjam istilahnya Agus Pakpahan (2004) bahwa petani kita saat ini sedang menjerit, mengeluh kecewa, dan duka. Semua bercampur, menyatu dalam kemiskinan dan keterbelakangan yang entah sampai kapan harus berakhir.

Bayang-bayang psikologis yang dialami massa rakyat (buruh, petani dan nelayan) akibat malapraktek developmentalisme rezim otoriter Orde Baru belum usai. Kita pun disuguhkan dengan kenyataan global berupa neoliberalisme dibidang pertanian yang sungguh menista dan menohok bayangan kesejahteraan petani gurem.

Betapa tidak Agreement on Agriculture (AOA) yang disepakati dalam World Trade Oragnization (WTO) kemudian diterapkan di Indonesia yang berakibat pada pengaturan semua subyek pertanian kita (dikecualikan untuk perikanan) (Bonnie Setiawan, 2003).

Itu satu persoalan, bagaimana dengan harga dan tata niaga beras yang tidak pernah menguntungkan petani, bagaimana persoalan pasar bagi komoditas pangan lainnya, bagaimana dengan beras import, regulasi dibidang pertanian, gula import, pencabutan subsidi pupuk yang berakibat pada mahalnya harga pupuk dan seribu satu macam soal tentang pertanian kita.

Harapan perubahan

Akumulasi semua persoalan diatas, merupakan kenyataan obyekti bidang pertanian. Terbentuknya Kabinet Persatuan Nasional dengan mentri pertanian Anton Apriantono memunculkan sebersit harapan akan wajah baru pertanian Indonesia masa depan. Dipundaknya dititip harapan begitu besar untuk membenahi persoalan-persoalan pertanian.

Paling tidak, ada komitmen sungguh-sungguh dari pemerintah untuk melihat kenyataan petani gurem yang sugguh jauh dari kesejahteraan disebabkan karena ketidak mampuan akses pada banyak hal.

Kedepan orientasi dan arah pembangunan pertanian kita tidak lagi mengutamakan bagaimana mencapai produksi tinggi. Tetapi bagaimana menciptakan ruang yang adil, yang memungkinkan petani gurem memiliki akses terhadap sumber daya (resources).

Oleh karena itu hemat penulis ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Pertama, bagaimana pemerintah (kementrian pertanian) melakukan inventarisasi problem dan permasalahan ditingkat petani. Sebab tidak mungkin dilakukan strategi pembangunan buta-buta. Dan karenanya akan sangat sulit memformulasi kebijakan apa harus dilakukan. Disinilah pentingnya inventarisasi permasalahan. Sebab mengambil kebijakan tidak hanya dibutuhkan keberanian. Akan tetapi juga dibutuhan analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional dan fungsional.

Kedua, “melindungi petani”. Apa artinya? Bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan warganya (petani) dari kemiskinan, keterbelakangan dan lainnya. Perlindungan berarti juga memberikan perhatian dan keberpihakan yang secara rill dan kongkret dalam aturan main yang memungkinkan adanya ruang akses bagi petani gurem. Ini penting, sebab dengan adanya akses petani kepihak perbankan, misalnya, akan memberikan tambahan modal bagi petani untuk mengusahakan komoditasnya. Disinilah para wakil rakyat yang terhormat diuji keberpihakannya. Apakah serius, betul-betul menjadi wakil rakyat yang memperhatikan daerah pemilihannya.

Sehingga dengan adanya aturan main (rull of the game) baik beru keputusan presiden, instruksi presiden atau peraturan daerah yang mempu menjadi payung bersama dan ikatan bagi pemangku stakeholder. Sehingga ruang akses petani gurem mampu diakomodir dengan demikian adalah sebuah langkah maju dan berarti bagi kelangsungan hidup ratusan ribu petani gurem di polosok tanah air Wallahu A’lam Bisshawab. (pernah dimuat di Tribun Timur, 31 Januari 2005)

3 thoughts on “Tidak Ada Akses bagi Petani Gurem

  1. Saya kok pesimis, jk akan ada penurunan jumlah kemiskinan bila tdk ada perlakuan mendasar ttg hal ini. Coba dikalkulasi berapa pendapatan petani guren yg sktr 18,5 jt tsb (ikut saja dianggap benar, perkiraan saya lbh dah) dgn garapan rata2 0,5 ha, hitung panen 2x, rata2 3 t mk pdptn hanya 2x3000kgxRp1000 potong biaya tanam kdg sampai 35%?, jk 1 petani ada 4 jiwa, istr & 2 anak, mk perkapitanya hanya Rp2.671,-/hari setara 0,29$/hr , jauh dibawah std dunia 1,25$/hr. Sedang 15 th yad, tnh tsb dibagi 2, tinggal 0,25 ha, mk pedptn jadi turun lagi setengahnya?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s