Ahad siang, 25/04/2010, saya baru tiba di terminal giwangan dari Jember – memfasilitasi training jurnalistik – lalu naik angkot ke kontrakan di Notoprajan. Saya lalu istirahat melepas lelah perjalanan yang menyita energi itu. Saya terbangun sore hari dan peking perlengkapan untuk persiapan training. Sebelum magrib saya berangkat naik motor ke Duwet, Kecamatan Mlati, Sleman, lokasi pelaksanaan training Civic Education for Future Indonesia Leader (CEFIL).
Bagi saya, Satunama sudah tidak asing lagi. Saya pernah ikut lokakarya indeks masyarakat sipil (MIS) dan indeks masyarakat islam yang sebenar-benarnya (MIYS) yang diselenggarakan oleh Civil Islamic Institute, Satunama, dan World Vision. Dari situlah saya mengenal beberapa orang seperti pak Frans, mas Budi, dan Mitha. Dan dari situ pulalah informasi CEFIL saya peroleh.
Saya sampai di Satunama sebelum magrib. Saya lalu menanyakan kamar ke satpam yang jaga.
”Saya kamar berapa pak”? Tanyaku.
”Siapa namanya mas”? Tanyanya.
”Masmulyadi” jawabku.
”Saya di kamar mana mas”? Tanyaku lagi.
”Nomor 14 mas, sudah ada orangnya itu” ujar satpam menjelaskan.
Saya lalu menuju ke lantai dua dan benar dikamar sudah ada dua orang anak muda yang belum ku kenal. Saya lalu berkenalan dan sedikit berbincang.
”Allo, siapa namanya bro”? Saya menanyainya.
”Saya Acep dan Itu Hendri” ujarnya dengan mimik yang dingin.
”Dari mana teman”? Selidikku.
”Tasik” jawabnya pendek. Sependek rambutnya.
Karena si Acep dan Hendri sudah mengkapling tempat tidur dibagian bawah, terpaksa saya tidur di bagian atas. Kebetulan tempat tidurnya dua lantai. Tubuhku kerebahkan di kasur. Saya pun terjaga dan bangun ketika kegaduhan diluar kamar menyentak. Saya keluar kamar. Diluar sudah duduk beberapa kawan dari Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Belakang hari yang besar suaranya dan membuatku terbangun kukenal sebagai mbak Ana. Mariana nama lengkapnya. Ia dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sidoarjo. Mereka berbincang saling menanyai nama dan asal lembaga. Saya pun ikut nimbrung dan mengenalkan diri.
Senja yang indah sore itu di Kampung Duwat, Sleman. Di pinggir jalan, sebangun kompleks pelatihan berdiri gagah. ”Satunama Training Center” begitu tulisan papan namanya. Langit yang menua seiring pergantian siang ke malam. Entahlah. Langit selalu saja menawan. Saya tak kuasa menahan rinduku pada sebuah prosesi bergeraknya matahari menuju ufuk itu. Suasana warna-warni langit menerjemahkan romantika dalam stratum warna-warna, mendandani sebujur langit dalam dominasi jingga, hingga pada akhirnya terbingkailah lukisan mahakarya Tuhan di petala langit senja. Tiba-tiba dari puncak menara masjid terdengar suara adzan. Saya lalu bangkit menuju kamar mandi melaksanakan ritual mandi dan bersiap untuk ikut tahapan pertama training ini.
***
Malam itu, sesi dimulai dengan perkenalan. Proses belajar difasilitasi oleh Mba Metta. Ia koordinator divisi capacity building di Yayasan Satunama. ”Kalian gunting gambar dari koran atau majalah yang menggambarkan anda pada saat kecil, dewasa, dan mempengaruhi anda saat ini” perintah mba Metta.
Setiap peserta menggunting gambar, lalu membuat sesuai dengan penjelasan fasilitator. Saya menggunting gambar mobil sebagai simbol masa kecilku. Rakit atau perahu sebagai simbol keremajaanku. Dan kegiatan membaca sebagai simbol yang sangat berpengaruh bagi saya saat ini. Setiap peserta saling mendatangi untuk mengklarisifkasi gambarnya masing-masing. Saya menjelaskan ketiga peristiwa tersebut dalam perjalan hidup saya.
Saya memperoleh teman baru. Teman yang akan menemani hari-hari selama proses pelatihan. Mereka pada umumnya adalah aktivis NGO dari berbagai isu dan daerah di tanah air. Di ujung barat, Medan kawan Iwan dan Rini. Dari Papau ada pak Herman, seorang jurnalis radio.
Setelah berkenalan, sesi dilanjutkan dengan orientasi pelatihan. Sesi orientasi, kepada kami dipaparkan tahapan-tahapan yang akan dilalui selama prosesi pelatihan. Lalu dilanjutkan dengan kontrak belajar. Malam itu kami menyepakai hal-hal apa saja yang boleh dan yang tidak boleh selama proses pelatihan. Dan seiring dengan itu, maka pertemuan pertama tersebut kami akhiri dengan aplous.
Jam 07.00 saya bersiap-siap untuk sarapan pagi. Setiap pagi kami disuguhi dengan makanan. Secara pribadi saya dan pada umumnya orang Makassar sebenarnya tidak biasa dengan sarapan. Di Makassar, jika pagi orang hanya minum kopi dengan gula merah ditambah kue-kue seadanya. Tapi sebagaimana pepatah mengatakan dimana tanah dipijak disitu langit di junjung. Itulah falsafah tamu.
Sesi pertama pagi ini akan difasilitasi oleh mba Tri. ”Sri Sulastri” nama lengkapnya. Materi yang akan didiskusikan ialah Civil Society: Pengertian, Elemen, dan Bentuk. Mba Tri memulai dengan perkenalan dirinya. Rupanya ia mengenal saya. ”Kamu yang sering chating ya”? Ujarnya saat saya memperkenalkan diri.
Kelompok dibagi lima. Kami mendiskusikan dengan serius tentang civil society ini. Kelompok saya menyepakati beberapa kata kunci: ada ruang kebebasan, diluar negara, ada nilai-nilai, dan ada partisipasi. Saya kebagian untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok kami. Sesi ini mengantar kami untuk memahami konsepsi civil society dan elemen-elemennya.
Siang hari, sesi dilanjutkan dengan topik partisipasi. Sesi ini difasilitasi oleh Mitha. Metodenya masih diskusi kelompok. Materi ini akan mengantar peserta memahami partisipasi. Partisipasi berkaitan dengan bagaimana keterlibatan civil society didalam ikut merumuskan, merencanakan, dan memantau jalannya proses demokrasi.
Siang hari, kami bermain games globalisasi. Lewat games ini saya menyadari betul bagaimana mekanisme kerja globalisasi. Negara dalam konteks globalisasi hampir dikatakan tidak relevan lagi. Fungsinya tidak lebih kurang sebagai penjaga stabilitas yang memungkinkan bekerjanya mekanisme pasar dengan aman dan efisien.
Sore hari sesi di isi oleh mba Agung Putri, Direktur Eksekutif ELSHAM, Jakarta. Mba Agung menjelaskan globalisasi dan proses bekerjanya globalisasi. Globalisasi menurut mba Agung membawa kita kepada suatu kenyataan bahwa globalisasi disamping membawa kita kondisi yang demokratis, tapi sekaligus membawa efek global yaitu masuknya kekuatan-kekuatan kapitalisme global menumpangi proses demokratisasi.
Malam hari kami nonton layar tancap. Sebuah film tentang korban lumpur lapindo. Tapi sebelumnya kami makan bersama di angkringan sambil nonton. Film ini menjelaskan bagaimana korporasi bekerja menghancurkan komunitas lokal. Lapindo Brantas bekerjasama dengan penguasa tengik merusak ekologi dan kehidupan suatu entitas masyarakat. Menghancurkan masa depan anak-anak yang tidak berdosa. Saya tidak mengikuti sampai akhir film itu. Mataku tak bisa diajak berdamai lagi. Ngantuk bangat.
***
Hari kedua diisi dengan materi kepemimpinan. Sesi ini difasilitasi oleh pak Hardono Hadi. Dalam sesi perkenalannya ia mengenalkan diri dengan panggilan pak Don. Pak Don mengantar kembali kepada ciri-ciri kepemimpinan. Seperti visioner, pengambil resiko, mampu berkomunikasi (bukan imagologi), dan memiliki empati. Pak Don mengajak kami memahami kepemimpinan secara teoritik.
Siang harinya sesi kepemimpinan difasilitasi oleh bung M. Fajloer Rahman. Bung Fajloer banyak bercerita bagaimana pentingnya politik dalam transformasi suatu masyarakat. ”Generasi kami adalah generasi yang benci dengan politik. Pokoknya politik itu tidak” ujarnya. ”Kalian jangan mengulangi kesalahan kami” begitu dia memberi saran kepada kami. ”Kami seolah merasa menang ketika berhasil menumbangkan Soeharto. Tapi kami gagal membangun sistem. Mereka para badut-badut politik itu menguasai negeri. Kami alpa dengan undang-undang” tandasnya memberi nasehat.
Dari sesi ini saya menangkap bagaimana pemimpin masyarakat sipil harus terlibat dalam ”politik”. Keterlibatan tersebut dalam pengertian advokasi dalam kerangka membuka ruang yang lebih adil. Contoh yang paling mutakhir dari sisi ini ialah keberhasil gerakan sipil mengadvokasi UU Badan Hukum Pendidikan yang berakhir dengan pembatalan di Mahkamah Konstitusi. Saya pikir, masyarakat sipil memiliki tantangan yang jauh lebih besar kedepan. Banyak sekali perundangan yang menyesatkan. Perundangan yang menyakiti rasa keadilan masyarakat. Perundangan tersebut misalnya: undang-undang ketenaga listrikan, penanaman modal, sumberdaya air, dan lain-lain.
***
Hari ketiga forum akan bicara tentang analisis sosial. Sesi ini difasilitasi oleh bang Ansel. ”Anselmus Kahan” nama lengkapnya. Kamu memulai sesi dengan perkenalan dan kontrak belajar. Dia memfasilitasi sesi ini bersama mba Putri. Kami diajak nonton film tentang kehidupan sosial sebuah pulau di Papua Nugini. Film tersebut bercerita mengenai perlawanan sebuah komunitas terhadap perusahaan pertambangan yang membuat komunitas di pulau tersebut terasing dengan sumberdaya alamnya sendiri. Melalui kesadaran mereka, perlahan namun pasti mereka mengorganisir diri membangun perlawanan. Mereka komunitas pulau itu melakukan pendidikan. Mambangun kesadaran aksara bagi komunitas untuk sebuah pembebasan.
Siang hari kami mendiskusikan media alternatif dalam sebuah pengorganisasian. Juga kami disuguhkan sebuah dengan film tentang bisnis terorisme. Kami mendiskusikan film itu. Mengungkap bagaimana institusi tertentu di negeri ini memperoleh keuntungan dibalik proyek terorisme tersebut. Sore harinya kami mendapat tugas melakukan kunjungan lapangan ke jalan solo. Suatu hal yang menarik dari sesi ini. Kami lalu mendapat simbol ”demokrasi memang menyakitkan, kawan”. Setiap kali kami berkumpul diluar forum, kami senantiasa mengucapkan kalimat tersebut.
Suatu hal yang ingin saya catat disini ialah, pemimpin masyarakat sipil harus memiliki kecakapan melakukan analisis sosial terhadap fakta-fakta dan realitas sosial yang kian pelik.
***
Hari keempat kami melanjutkan materi ansos. Kelompok-kelompok mempresentasikan hasil pengamatan lapangannya. Kelompok saya mempresentasikan ansos dikomunitas pengemudi becak di dekat LPP.
Siang harinya materi dilanjutkan dengan teknik penulisan opini. Materi ini difasilitasi oleh pak Raymond Toruan. Ia wartawan senior. Pernah bekerja di kompas dan pemimpin redaksi The Jakarta Post.
Pak Raymond mengajarkan kami teknik menulis opini (artikel dan surat pembaca). Dari sesi ini sesungguhnya saya sadar betapa pentingnya komunikasi bagi pemimpin masyarakat sipil. Sesi ini berlanjut sampai malam. Di malam hari, kami praktek menulis opini. Kelompok saya mengambil topik pemberantasan korupsi. Kami berlatih membuat surat pembaca dan artikel. ”Opini itu harus Ringkas, Padat, dan jelas” begitu jelas pak Raymond setiap saat konsultasi penulisan.
Salah satu titik lemah masyarakat sipil ialah belum sadar media. Tentu tidak semua. Tapi secara umum media belum digunakan secara efektif untuk menyampaikan gagasan dan pandangan-pandangannya di media. ”NGO itu belum memfaatkan saluran ini” lanjutnya. Dalam hati sebenarnya saya menyangga, banyak NGO yang sudah melakukan upaya itu. Tapi media juga tidak bebas nilai. Media juga punya kepentingan. Jadi ketika diperhadapkan pada pilihan kepentingan siapa yang akan diakomodir, maka akan sangat tergantung siapa pemiliki media itu.
Kami mengakhiri sesi malam itu dengan diskusi mengkritisi tulisan kami masing-masing. Saya sungguh sadar. Meski sering menulis di media massa dan blog akhir-akhir ini, saya merasa masih sangat kurang. Sebab saya tidak pernah berlatih menulis dengan aturan yang ketat. Saya menulis dengan genre blog yang bebas.
***
Hari kelima materinya ialah konflik. Sesi ini difasilitasi oleh pak Ichsan Malik. Dosen pascasarjana Universitas Indonesia dan aktivis Institute Titian Perdamaian, Jakarta. Saya sangat menikmati sesi ini. Pak Ichsan baik sekali menjelaskan materinya. Saya menjadi tercerahkan bagaimana konflik terjadi. Kenderaan apa yang ditumpangi. Panggung apa yang ditempati. Sutradaranya siapa. Saya seolah-olah diajak oleh pak Ichsan berada dalam sebuah drama. Drama tentang kekerasan. Tentang kanibalisme. Tentang ego dan kepentingan.
Saat break, saya menyempatkan berdiskusi dan menyakan beberapa hal. Termasuk meminta kartu namanya. He…… he ….. Karena hari juma’at, sebelum sholat, kami menyempatkan menonton film “Baku Bae” lesson learning dari sebuah advokasi konflik yang pernah difasilitasi oleh pak Ichsan di Maluku.
Ba’da jum’at kami diskusi kelompok. Tugas kami ialah menganalisis konflik “Mbah Priuk” di Jakarta Utara.
***
Hari terakhir materinya ialah pengorganisasian. Sesi ini difasilitasi oleh mas Budi dan kang Baharuddin. Baharuddin sosok organiser yang berhasil mengembangkan SMP alternatif “Qoryan Tayyibah” di Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah.
Kami berdiskusi tentang konsep pengorganisasian. Siang harinya dilanjutkan dengan bermain games. Catatan saya atas sesi ini ialah organisasi masyarakat sipil harus menempatkan diri sebagai fasilitator dalam mengendors sebuah kegiatan, advokasi, atau program.
Banyak organisasi masyarakat sipil yang mengkleim melakukan pemberdayaan. Tapi toh yang dilakukan masih charity. Yang dilakukan masih mobilisasi. Belum sampai ketitik tertinggi pemberdayaan yaitu adanya kebebasan bagi individu untuk memutuskan pilihan-pilihannya. Akhinya ya, bersifat mobilisasi.