Aku hanya pernah mendengar cerita gunung meletus dalam buku-buku pelajaran waktu SD dan kisah-kisah Ayahku saat masih kecil, dulu. Ayah bercerita kedahsyatan letusan Gunung Galunggung melalui bacaannya. Ya, ia seorang pembaca yang kuat. Terutama buku-buku cerita dan novel. Setiap kali ia selesai membaca sebuah buku cerita atau novel, ia menceritakan dan mengajakku dan adik mendiskusikan isi buku itu.
Sehari sebelum letusan pertama Gunung Merapi beberapa teman menanyakan kabar dan menyampaikan bahwa Merapi meletus. Aku sendiri malah tidak tahu. Tanggal 26 November 2010, subuh, sebuah pesan SMS dari kawanku, ia menanyakan apakah di kost saya juga terkena hujan abu. Tanpa pikir panjang, saya menjawab tidak. Kebetulan sehari sebelumnya aku mencuci dan menjemur pakaian. Setalah kubaca SMS dari kawan itu, aku melihat jemuran. Tentu aku terkejut, karena seluruh pakaianku kena hujan abu. Aku lalu buru-buru meng-smsnya, menyatakan bahwa di kostku yang jaraknya 25 km dari merapi juga kena hujan abu.
Cerita gunung meletus yang kudengar saat masil kecil dulu, baik yang diceritakan Ayah atau pun yang aku baca di buku-buku kini benar-benar terjadi. Gunung Merapi memuntahkan isi perutnya, berbagai material dikeluarkan seperti; abu vulkanik, pasir, batuan, gas-gas, dan lain sebagainya.
Suasana jadi panik. Masyarakat yang tinggal dikaki merapi mengungsi. Muntahan awan panas dan material yang dikeluarkan gunung aktif itu melumat segala sesuatu yang menghalangi geraknya. Ada ratusan manusia, ribuan ternak, dan harta benda masyarakat yang tinggal di kaki merapi musnah. Termasuk merenggut nyawa sang juru kunci, Mbah Marijan.
Kota-kota yang ada disisi selatan, barat dan utara ditimpa hujan abu. Suasana kota termasuk Yogyakarta menjadi sumpek, jalan-jalan lengang, orang-orang malas keluar rumah dan suasana sangat tidak nyaman.
Aku keluar rumah dua atau tiga hari setelah erupsi. Dari arah Pasar Klitikan, motor Astra greand itu ku pacu ke selatan di sekitar patang puluhan. Disana, pagi itu aku hendak main futsal. Sembari naik motor, saya menutup mulut dan hidung dengan bajuku. Sangat tidak nyaman. Jarak pandang juga pendek. Benar-benar nyesak. Karena udara yang kotor.
Aku punya sedikit pengalaman berkunjung ke rumah mbah Marijan di Kinahrejo pada tahun 2006. Waktu itu diajak ma Mba Ama (Rahmawati Husen) ya semacam rekreasilah disana. Mba Ama ini cukup dekat dengan keluarga si Mbah. Kebetulan merapi baru saja erupsi kala itu dan saya menyaksikan dari dekat sisa-sisa rumah yang tertimbun oleh material di Kinahrejo.
Kisah perkenalan Mbak Ama dengan keluarga Mbah Marijan dimulai saat Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) itu sering naik gunung.
Aku menikmati suasana pegunungan seharian penuh di Kinahrejo. Vegetasi tumbuhan yang hidup dilereng-lereng merapi sangat mengagungkan. Mata terasa sejuk sekali memandangi hijauan dari dekat. Inilah pengalamanku melihat langsung kampung Mbah Marijan dan kehidupan sehari-harinya.
Ya, itulah peristiwa alam. Kita harus bisa mengambil makna dari setiap kejadian apa saja di muka bumi ini. Mbah Rono benar, ambil sisi positifnya. Merapi sedang memberi kesuburan bagi warga disekitarnya.