Hari ini (07/01) harian Kompas mengangkat head line mengenai kematian yang disebabkan oleh bunuh diri. Redaksi menurunkan sejumlah hasil liputan kematian karena bunuh diri di beberapa tempat di Pulau Jawa. Barangkali kabar kematian seperti itu bukan lagi berita menarik di Negeri ini. Sebab secara nilai berita kalah jauh di banding berita kongkalikong Gayus Tambunan dengan para penegak hukum di sejumlah institusi pengawal hukum di Republik mafia ini.
Sebagai anak bangsa yang belajar ilmu ekonomi politik (tidak diajarkan di fakultas ekonomi), secara otodidak, head line Kompas adalah tamparan awal Tahun yang menyakitkan. Bagaimana tidak, tahun 2011 yang sejatinya lebih cerah di banding tahun lalu ternyata di awali dengan sejumlah kenyataan memalukan sekaligus memilukan. Hari-hari kita di sesaki dengan berita korupsi dan berbagai penyelewengan penyelenggaraan Negara baik di pusat bahkan lebih parah lagi terjadi di daerah-daerah otonomi di belahan negeri ini.
Kembali ke kasus bunuh diri diatas. Apa yang menarik dianalisis yaitu, bagaimana menjelaskan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik dengan angka pertumbuhan kurang lebih 6% per tahun dengan kenyataan ekonomi yang dihadapi secara ril oleh masyarakat di berbagai wilayah Republik. Apa yang salah dengan pencapain (barangkali lebih pas kalau disebut mempertahankan angka pertumbuhan tahun 2009) tersebut? Bukankah Presiden SBY dan Menteri Perkonomian, M. Hatta Rajasa dalam berbagai ceramahnya berusaha meyakinkan kita semua bagaimana keberhasilan Indonesia menitih jalan keluar dari krisis financial global dan mempertahankan laju perkembangan ekonomi.
Kadangkala kita terlalu mendewakan angka-angka pertumbuhan tanpa pernah berfikir kritis bagaimana kualitas pertumbuhan ekonomi. Bagaimana distribusi sumberdaya? Siapa yang menguasai sumber-sumber tersebut. Apa benar bumi dan kekayaan yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia ini dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Bagaimana efektivitas program pemberdayaan masyarakat (PNPM) yang digerakkan dari utang ke Bank Dunia itu?
Kalau bicara kualitas pertumbuhan, angka-angka PDB, pertumbuhan dan sebagainya itu tidak lagi relevan dalam konteks kualitas. Karena itu harus bicara persepsi, kalau bicara persepsi tentu yang harus ditanya ialah penerima manfaat dari aktivitas pembangunan yaitu, masyarakat. Temuan terbaru Lembaga Survei Indonesia terkait kinerja pemerintahan SBY Budiono mengalami penurunan yang drastis. Kondisi ekonomi mengalami penurunan (terus memburuk sejak Januari – Desember 2010) setelah mencapai puncak di Juli 2009. Kondisi kritis terutama dalam menjaga harga-harga barang terkendali dan terjangkau masyarakat umumnya, mengurangi jumlah orang miskin, dan mengurangi jumlah pengangguran.
Laporan Kompas juga adalah refleksi betapa buruknya kualitas pembangunan ekonomi Nasional. Tidak mungkin orang bunuh diri karena alasan utang (baca; ekonomi secara umum), kalau kualitas kehidupan lahir dan batinya memadai. Itu logika sederhana yang bisa difahami oleh siapa saja, tidak perlu kuliah ekonomi 4 sampai 9 tahun di Kampus.
Lalu bagaimana dengan distribusi sumberdaya di Indonesia? Harus jujur diakui, sumberdaya alam yang terkandung di perut bumi Indonesia sudah habis di lego kepada para raksasa minyak dari berbagai negera donatur Indonesia. Sementara masyarakat yang hidup di ladang-ladang minyak dan gas di areal penambangan batu bara dan tempat-tempat penggalian biji nikel, emas, dan perak hidup melarat. Kualitas lingkungan melorot akibat eksploitasi yang berlebihan diluar kebutuhan manusia. Demi berburu rente ekonomi.
Sampai-sampai Budayawan, Sujiwo Tejo dalam sebuah refleksi akhir tahun 2010 di Yogyakarta bebepa waktu lalu mengatakan bahwa Indonesia sudahlah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan, kecuali Tuhan turut campur tangan atas masa depan bangsa ini. Pesimisme Tejo bisa dipahami, bahwa kenyataan-kenyataan yang digambarkan oleh media setiap hari adalah cermin betapa buruknya kualitas pembangunan bangsa ini.
Sebagai anak muda, layar optimisme harus kita direntang. Saya yakin setiap soal pasti ada jawabannya dan kelak kita harus menjawab soal-soal yang disedorkan oleh kenyataan yang kita hadapi. Dan kualitas jawaban kita akan sangat dipengaruhi oleh paradigm (world view: pandangan dunia) apa yang kita anut. Wa Allahu A’lam.