Saya pertama kali terlibat dalam pertanian organis dan mengenal istilah itu saat memasuki semester 2 kampusku dengan bergabung ke Yayasan Perak-Makassar tahun 2000 akhir. Awalnya hanya sebagai sukarelawan (volunteer) karena di ajak beberapa dosen saya yang tergabung dalam Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA). Lalu ketika mengambil kuliah sekaligus asisten mata kuliah Pembangunan Pertanian dan Politik Pertanian saya mulai mengenal secara lebih jauh bagaimana ideologi bertarung dalam arena yang yang disebut dengan state.
Lewat Yayasan itulah saya banyak berkunjung mengikuti pendamping lapangan ke Tana Toraja, Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng (Sulawesi Selatan). Pengalaman selama kurang lebih dua tahun dalam gerakan organis sungguh memberi perspektif dalam alam pikiran saya tentang dinamika pembangunan pertanian. Di tambah program live in (6 hari) yang wajib di ikuti oleh mahasiswa pertanian di kampusku yang dimulai dari semester 3 hingga semester 7.
Saat aktif di Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI) tahun 2005 awal saya berkesempatan live in selama 7 hari di sebuah basis pertanian yang di organisir oleh kawan-kawan Katholik di Kecamatan Pakem, Sleman. Di POPMASEPI kegiatan perkaderan ini disebut dengan Bina Desa. Di Dusun itulah kami banyak berinteraksi dengan petani. Nginap di rumah-rumah mereka dan merasakan bagaimana proses produksi dengan moda organis.
Proses itu lalu berlanjut di tahun 2008 saat mulai aktif di Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah walau pun lebih banyak terlibat sebagai partisipan tidak seperti di awal 2001 yang terjun langsung mulai di hulu, ngumpulin tahi dan berkumpul dengan warga, berdiskusi secara dialektis konstruktif melalui belajar bersama di kelompok.
Pertanian Organis
Kesadaran organis ialah kesadaran manusia akan pentingnya sebuah hubungan yang harmonis antara dirinya dengan entitas lain, yaitu alam. Suatu kesadaran lahir dan berkembang dalam suatu konteks tertentu. Menurut Fromm (1956) kesadaran merupakan unsur dalam manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi realitas. Dengan demikian kesadaran itu biasanya tumbuh dalam tiga fase yaitu; fase penginderaan, pemahaman dan pengertian. Kesadaran lalu melahirkan suatu tindakan tertentu.
Adalah Peter Agatho, rohaniwan Katolik dan tokoh awal di Indonesia yang memperkenalkan pertanian jenis ini di akhir 70-an. Ia membedakan antara pertanian organis dan pertanian organik (organic farming). Bagi Agatho pertanian organik lebih tepat diartikan ilmu (kata benda), sedang organis adalah perilaku atau gaya hidup (kata sifat). Di samping Agatho, ada juga Romo Utomo, seorang pastor senior di gereja Ganjuran.
Di Japan kita mengenal Masanobu Fukuoka yang mengusung revolusi sebatang jerami (Revolusi Sebatang Jerami, Yayasan Obor, 1991). Fukuoka memandang, sejak dahulu kala, tanaman tumbuh dengan sendirinya sebagai anugerah dari dewa Okuninushino-kioto yang berkeliling sembari memanggul karung berisi aneka buah untuk disebar. Alam yang tandus disembuhkan dengan taburan benih, dan dirawat oleh akar-akar yang tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Fukuoka terkesima. Ia melihat sebersit hokum, yang lantas menjadi fondasi bangunan pemikirannya. Tanaman tumbuh sendiri, dan seharusnya tidak ditumbuhkan. Pada saat itulah ia menyangsikan kaidah ilmu pertanian modern yang lebih menitikberatkan pada intensifikasi, yang bertujuan akhir semata-mata pada hasil produksi (Revolusi Sebatang Jerami, Yayasan Obor Indonesia, 1).
Secara hakikat, pertanian organis ialah membangun suatu sistem kehidupan yang harmonis. Saat ini makna pertanian organis dibajak menjadi sangat instrumental yaitu, berhenti memakai pupuk kimia dan pestisida pabrikan saja.
Banyak orang dan organisasi (terutama government organization dan perguruan tinggi) bekerja dalam konsepsi sempit seperti diatas. Apalagi belakangan isu pertanian organis menjadi sangat seksi, tatkala ada perubahan perilaku dalam kehidupan manusia yang cenderung untuk memperhatikan aspek kesehatan. Pertanian organis lalu terseret masuk dalam logika pasar. Sebab secara teoritis, supply and demand komoditas ini sangat dinamis dan membentuk segmen pasar sendiri dalam suatu lingkungan bisnis.
Ideologi Organis
Perubahan tersebut cukup menarik, walau dibangun diatas kesadaran naif (praktis dan jangka pendek), tetapi perubahan itu cukup memberi harapan akan terjadinya sebuah gerakan yang lebih massif. Sebab dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, akan memudahkan aktivis pertanian organis masuk lebih jauh lagi. Pekerjaan rumah yang berat buat para pengiat pertanian organis ialah bagaimana mengikat perubahan tersebut dengan menggeser masuk ke ranah pertanian organis sebagai sebuah ideologi. Disinilah sesungguhnya perjuangan yang berat itu. Aktor-aktor gerakan pertanian organis dan lembaga-lembaga yang concern dengan isu ini harus menggandeng koalisi. Tidak bisa dikerjakan secara sendiri. Apalagi mematok cara yang monolitik.
Kenapa harus masuk ke ranah ideologi? Bisa dibayangkan bagaimana sebuah gerakan tanpa ideology. Gerakan tanpa ikatan ideology otomatis ia tidak punya ruh, hambar dan nyaris tanpa rasa. Kering kerontong. Akibatnya gerakan tidak punya masa depan. Gampang terombang ambing oleh suatu keadaan.
Lantas bagaimana membangun kesadaran organis? Pertama, mereka yang memiliki concern pada isu pertanian organis harus melakukan pengorganisasian basis sebagai wadah, proses belajar dan internalisasi nilai-nilai (ideology) pertanian organis. Pengorganisasian sangat penting dalam membangun kesadaran organis, sebab melalui pengorganisasian inilah petani dan komponen yang terlibat bisa berproses secara ril dengan kehidupan nyata. Disini petani membangun kekuatan dan kemandirian secara bersama-sama melalui wadah organisasi tani (mutlak harus ada). Proses ini akan membentuk apa yang disebut dengan karakter petani organis. Yaitu karakter kemandirian, concern pada kehidupan organisme dan keseimbangan alam.
Nilai-nilai ini sangat penting dalam memperkuat karakter gerakan pertanian organis. Dalam hal kemandirian misalnya, bagaimana petani harus dibebaskan dari belenggu ketergantungan. Terutama ketergantungan terhadap sumberdaya dari luar lingkungannya. Petani bisa didorong misalnya mengembangkan mikro organisme lokal (MOL). Beberapa lembaga yang mendrive pendekatan ini misalnya Lesman, Bina Desa (Jakarta), AOI, jaringan pertanian organik Indonesia. Atau yang di prakarsai oleh Ganesha di Bandung yang bekerjasama dengan P3M Jakarta. Jika kemandirian bisa dibangun saya yakin akan menjadi modal besar dalam menjaga keberlanjutan gerakan.
Kedua, bagaimana mensinergikan kampus dengan realitas petanian. Harus diakui bahwa salah satu kekuatan penting dalam perubahan budaya pertanian ialah kampus. Isu-isu pertanian organis yang sedemikian massif ternyata tidak banyak digubris oleh kampus. Kalau pun ada, persentasenya sedikit sekali. Disini penting bagaimana membangun sinergi antara lembaga. Bagaimana melatih mahasiswa sebagai kader-kader pertanian organis untuk terlibat dalam aksi-aksi transformatif. Berbagai program live in harus di desain untuk mengenalkan mahasiswa dengan realitas ini.
Ketiga, memperkuat kembali peran lembaga agama. Harus diakui, perkembangan isu pertanian organis di Indonesia disamping didrive oleh Ornop, lembaga agama juga memberi kontribusi terutama lembaga-lembaga agama yang berafiliasi dengan Katolik. Alhamdulillah Muhammadiyah dan NU sudah mulai masuk ke area ini. Walapun agak terlambat tetapi inisiatif ini patut di apresiasi. Wa Allahu A’lam.