Senja mulai redup. Hingar bingar jalanan perlahan surut. Motor terus di pacu oleh asisten lapangan yang memboncengku entah ke arah mana. Saya tidak mengerti. Persis ketika metahari terbenam, membiaskan cahaya membuat suasana Kota Padang bercahaya dari balik kaki bukit. Motor yang kami kendarai mulai menanjak, perlahan saya melihat dari balik kaca mata minusku papan nama sebuah kampus tertulis Universitas Andalas. Ya Unand. Begitulah orang sering menyingkat nama kampus itu.
Ia terus saja memacu motornya. Melingkar-lingkar seolah ingin menunjukkan kepada saya, kampus negeri terbesar di Ranah Minang itu. Magrib semakin tua. Motor lalu dibelokkan ke arah kanan. Ia lalu berhenti persis di sebuah gedung.
“Sholat dulu kita Bang” ajaknya.
“Ok, ini masjid kampus ya!” ujarku menyetujui sambil menanyai masjid itu.
“Iya Bang, ini masjid kampus Unand” jelasnya.
Kami lalu melaksanakan kewajiban keagamaan yang menjadi janji dan pengakuan kami sebagai hamba dihadapan kemaha besaran-Nya. Prosesi sakral yang akan senantiasa dilalui oleh setiap insan yang dilahirkan ke alam fana ini. Itulah janji antara hamba dengan Tuhannya. Janji suci tentang sesuatu yang transenden, yang hanya di ketahui oleh hamba dengan Tuhannya.
Kampus Unand berada di ketinggian dan cukup jauh dari kota Padang. Kira-kira butuh waktu 10 – 15 menit untuk sampai ke pusat ilmiah itu. Mahasiswa yang tak memiliki motor atau mobil harus antre bus kampus. Sebab pihak kampus menyediakan bus untuk mengangkut mahasiswa(i) dari kampus ke jalur bus umum (Angkot).
Saya di antar ke pusat kegiatan mahasiswa. Di situ kami bertemu dua orang aktivis mahasiswi dari BEM Unand. Kami berkenalan dan berdiskusi barang 15 menit. Rencananya sore itu saya ingin bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis kampus Unand tentang polisi dalam konteks hak asasi manusia (HAM). Setelah merasa cukup, kami mohon diri dan izin.
“kemana kita bang?” kata sang asisten lokal itu.
“Ya kemana ajalah. Saya ingin mengetahui Padang di malam hari” jawabku.
“ke jembatan Siti Nurbaya ya bang” ajaknya.
“Ok” jawabku singkat.
Sepeda motor lalu di nyalakan. Jalan. Lalu berbelok kanan dan kekiri. Entah jalan apa namanya. Saya tidak paham. Sampai akhirnya kami tiba di suatu jalan persis di pinggir sungai. Dari jarak dekat nampak jembatan Siti Nurbaya yang riuh rendah. Titik-titik bara api, memerah. Kelihatan dari sisi jembatan. Motor berbelok ke kanan dan naik ke punggung jembatan. Motor lalu di parkir.
Jembatan itu menjadi tungku bagi kehidupan banyak orang. Dengan panjang kurang lebih 60 meter, para kaki lima leluasa memanfaatkan sisi jalan untuk menjajakan dagangannya. Para pedagang kaki lima manakala senja tiba berkerumun seperti lebah kepada ratunya. Pedagang kaki lima itu mencari sesuap nasi untuk kelangsungan hidup keluarga mereka. Sisi lain dari jembatan Siti Nurbaya ini nampak kehidupan gemerlap yang disuguhkan oleh klub-klub malam illegal di sisi sungai Muara Batang Arau. Mereka yang memiliki uang lebih bisa bertandang ke lokasi itu. Disana bisa memuaskan sisi lain manusia, yaitu nafsu kebinatangannya. Anda bisa memilih perempuan, berdansa, menikmati minuman dan segala sesuatu yang melenakan.

Saya dan asistenku memesan pisang bakar. Sebenarnya saya ingin sekali makan jagung bakar. Tapi karena pertimbangan gigi, saya lalu mengurungkan niat itu. Gigiku sungguh tidak kompromi lagi dalam urusan yang seperti itu. Dan bila dipaksakan akan mengganggu pekerjaan risetku.
Sopoi angin pantai dan temaram lampu jalanan menyulap suasana romantis. Sehingga diwaktu-waktu seperti ini, jembatan Siti Nurbaya penuh sesak oleh anak muda. Ada yang mojok memadu kasih, atau sekedar menikmati secangkir kopi dengan roti, pisang atau jagung bakar seperti kami.
Sayangnya kami dating ketika malam. Sebab waktu yang pas ialah sore hari sehingga bisa melihat pemandangan Bukit Gunung Padang dan sunset yang berwarna jingga. Kita juga dapat sekaligus menikmati bangunan-bangunan tua di sepanjang kota tua Padang; kota jaman kolonial Belanda lengkap dengan kapal-kapal nelayan yang mulai merapat di dermaga muara. Tapi ya sudahlah. Ini hanya jalan-jalan untuk mengisi ruang kosong. Tidak diniatkan khusus kok. Santai saja bro.
Setelah merasa cukup saya lalu bergegas membayar pisang dan teh botol. Perjalanan lalu dilanjutkan ke pantai. Di pantai kami tidak singgah. Hanya saja motor dijelankan dengan sangat pelan. Sambil sang asisten menjelaskan pantai dan fenomena sosial sebagai implikasi modernitas yang melanda Padang.
Di sisi timur pantai berdiri semacam vila-vila dengan izin rumah makan. Tetapi prakteknya adalah prostitusi. Jualan salengkangan. Termasuk beberapa sisi di sepanjang jalan antara kota Padang dan Padang Pariaman.
Catatan perjalanan ke Padang (1)
aku dtng tk menjalin ukhuwah