Sebuah spanduk lebar berlatar seorang petani sedang menuang beras terpampang gagah di tengah sawah. Dari jauh, spanduk itu nampak jelas bertuliskan “panen padi sawah”. Di depan spanduk itu, berdiri sebuah tenda lengkap dengan panggung tempat para pejabat berceloteh. Dari jarak yang agak dekat, sekerumunan orang sedang duduk menunggu seorang pejabat yang akan memanen padi siang itu. Mereka sepertinya nampak cemas, beberapa panitia dengan ID card dan rompi hilir mudik. Seperti sedang sibuk. Di sudut lain, nampak orang bercakap-cakap. Entah apa yang mereka diskusikan. Aku tak paham.
Tidak lama kemudian aku mendengar suara sirena meraung-raung. Sepertinya suara mobil polisi yang biasa aku dengar di kota. Ya benar. Sebuah mobil patwal bergerak perlahan menuju ke lokasi spanduk besar tadi.
Orang-orang berjejeran. Sebuah pertunjukan khas daerah sedang dipentaskan oleh sebuah kelompok seni lokal yang dipesan khusus untuk acara ini. Ya, sebuah tari dan gerakan penyambutan yang aku tak mengerti makna dan maksudnya. Menurut seorang panitia lokal, tari itu tari tradisional yang sedang langka dan tak lagi diminati untuk dipelajari, khususnya anak-anak muda. Para pejabat itu ku lihat bersalaman dengan orang-orang. Ia lalu diantar oleh seorang panitia menuju ke lokasi sawah yang sudah disiapkan. Terlebih dahulu ia memakai sebuah sepatu bot sawah, caping dan pisau pemotong padi. Lalu di mulailah pemotongan padi oleh pejabat itu, di ikuti orang-orang yang telah ditentukan. Cukup lama ia memotong padi. Maklum tidak biasa. Ia lalu mengangkat padi yang berhasil ia potong. Para pewarta media yang di undang lalu berebut mengabadikan gambarnya.
Di podium di dalam tenda, nampak seorang petani bersiap-siap akan melaporkan hasil panennya. Ia menuturkan bagaimana proses budidaya yang dilakukan. Lalu ada sedikit proses tanya jawab. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Setelah sambutan lalu menyelesaikan berbagai urusan terkait dengan proses pelaksanaan acara itu. Tidak lama kemudian balik dan pindah ke tempat lainnya. Dengan kegiatan yang hampir mirip karena standar operasionalnya sama di setiap aktivitas panen.
Menegaskan Definisi
Sejenak kegiatan itu memang nampak riuh rendah. Apa lagi diliput oleh media. Dari sisi itu ok lah. Tetapi disisi lain, kaitannya dengan penguatan secara kelembagaan, aku pikir masih butuh diskusi lebih jauh. Ada pertanyaan yang selalu mengganggu otakku tatkala bicara kuantitas, banyaknya daerah atau lokasi yang sudah didatangi baik untuk panen atau pun berkegiatan yaitu kemana mereka setelah padinya atau komoditi usahanya di panen? Siapakah mereka itu, apa benar mereka itu petani atau nelayan…?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu direfleksikan untuk menegaskan posisi dan memainkan peran pemberdayaan yang lebih efektif dan tepat sasaran juga efisien dari sisi cost. Karena itu definisi soal petani mendesak untuk kita rumuskan dan sepakati. Sebelum melangkah jauh pada praksis. Ok lah, ini soal yang tidak perlu didebat secara panjang lebar, tetapi menentukan. Menentukan karena berkaitan dengan posisi dan pemaknaan lembaga terhadap petani, sekaligus sebagai basis epistemologi gerakan pemberdayaan yang dilakukan.
Akibat tidak jelasnya definisi petani yang dipijak maka seringkali atas nama pemberdayaan petani, banyak lembaga melakukan kegiatan secara semberono. Bahkan yang lebih fatal pada tingkat negara juga melakukan kekeliruan yang menyesatkan dengan melakukan generalisasi terhadap petani.[i]
Jika boleh mereview sedikit tentang sosiologi pertanian di Indonesia umumnya dikenal dua terminologi petani yang sering melekat pada status dan luas (pengusahaan dan pengusaan) lahan[ii]. Oleh karena itu dikenal petani pemilik, penggarap dan penyewa. Petani dengan penguasaan lahan yang sempit kemudian dikenal dengan petani kecil/gurem (peasant).[iii] Sedangkan mereka yang menguasai lahan luas disebut petani besar (farmers, plantation, estate, capitalis farm).[iv]
Generalisasi tersebut pada gilirannya berimplikasi pada aspek keadilan, distribusi dan alokasi subsidi, dll. Seringkali yang memperoleh subsidi adalah mereka petani yang sudah dalam kategori farmer atau petani besar, atau pemilik. Yang sejatinya tidak perlu diberdayakan karena secara sosial-ekonomi, kehidupannya jauh lebih baik dari kondisi peasant pada umumnya. Karena petani besar, pada umumnya adalah pemilik lahan atau kontrak dengan konglomerasi seperti pada banyak kasus petani di sektor perkebunan.
Pada tingkat organisasi/lembaga yang bergerak di pemberdayaan masyarakat jika turut tersesat dalam melakukan generalisasi pada gilirannya akan melakukan kesalahan yang sama dengan negara, melakukan pemberdayaan tetapi tidak tepat sasaran dan bahkan tidak efektif.[v] Oleh karena itu pemahaman terhadap hal-hal mendasar semacam ini dilakukan oleh lembaga yang bergerak pada aras pemberdayaan petani wa bil khusus di tingkat basis. Pisau ilmu sosial bisa digunakan untuk membedah struktur sosial petani atau riset-riset aksi (action research) untuk melakukan pemetaan terhadap petani yang akan menjadi sasaran program pemberdayaan. Dengan demikian, lembaga memiliki basis data (baseline) yang menjadi acuan dasar dalam kerja-kerja pemberdayaan. Tidak seperti pemadam kebakaran yang sibuk disana sini memadamkan api.
Menata Kelembagaan
Juga penting menjadi catatan dalam pemberdayaan masyarakat ialah bagaimana melakukan penataan terhadap kelembagaan. Baik kelembagaan pelaksana pemberdayaan dan kelembagaan ditingkat petani.
Penataan kelembagaan akan berhasil jika setidaknya didukung oleh lima hal. Pertama, kerangka kerja dan kewenangan antar sektor harus saling mendukung (Pola jaring labalaba). Kedua, Seluruh komponen masyarakat harus menjadi bagian inherent dalam pemberdayaan dan hasil-hasilnya. Ketiga, adanya dorongan (Motivasi) dan inisiatif (Kreativitas) bagi seluruh komponen masyarakat untuk mengambil peran lebih proaktif dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan. Keempat, didukung oleh sistem yang akuntabel melalui informasi yang transparan dan dapat diakses, dan Kelima, tersedianya kerangka kerja kelembagaan dan kepastian pelaku pemberdayaan.
Dalam struktur organisasi yang lebih panjang, seharusnya ada pembagian kewenangan di setiap level kepemimpinan agar tercipta keselarasan dan harmonisasi program dan kegiatan. Peran yang harus dilakukan oleh level paling atas yaitu: (1) bagaimana menciptakan modeling dan frame work (panduan/konsep) yang akan menjadi acuan bagi struktur organisasi dibawahnya, (2) Disamping itu, dilevel atas juga perlu melakukan supervisi dan monitoring bagi level dibawahnya, (3) menjelaskan arah dan capaian program lembaga, dan (4) mendorong tumbuhnya inisiatif di tingkat basis.
Inisiatif dan partisipasi menjadi kata kunci yang perlu di garis bawahi. Di level pimpinan yang atas harus mengapresiasi tumbuhnya inisiatif dilevel bawah dengan berbagai aktivitas kreatifnya. Karena dengan demikian akan menumbuhkan semangat dan motivasi bagi struktur organisasi dibawahnya. Apalagi inisiatif tersebut melahirkan kreatifitas. Justru inilah sebaik-baik pemberdayaan, yaitu “mengembangkan cebong yang hanya mampu hidup di dalam kolam kecil menjadi katak yang dapat meloncat ke mana-mana.”
[i] Lihat beberapa dokumen perundangan yang berkaitan dengan petani.
[ii] Lihat Iwan Setiawan, Dinamika Pemberdayaan Petani, Widya Padjajaran, 2012, hal. 15.
[iii] James C Scott menulis dua karya menarik soal ini yaitu; Senjatanya Orang-orang Kalah, (2000) dan Perlawanan Kaum Tani (1993), (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta). Atau Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologis di Indonesia, 1983, (Bharatara Karya Aksara: Jakarta). Eric R. Wolf, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis, (Rajawali Press: Jakarta, 1983).
[iv] Ibid.
[v] Bisa dilihat pada program-program pemerintah terutama ketika itu berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini, petani akan sangat fluktuatif. Kadangkala secara tiba-tiba petani miskin membludak. Lihatlah pada program-program seperti kredit usahatani (KUT), atau bantuan langsung tunai.
singgah membaca… lebih menikmati gaya menulisnya yg sepoi2 daripada ide yg disampaikan .. hehehe