Apa yang ada dalam benakmu saat mendengar Nusakambangan? Seram kan?. Ya, aku pun mempersepsikan demikian. Padahal apa yang dipersepsikan dengan kenyataan sebenarnya tidak selalu benar. Mungkin kita terlalu dibelenggu pikiran kita sendiri.
Selama tiga hari saya menfasilitasi pelatihan yang di selenggarakan oleh pusat studi HAM UII di Cilacap. Dalam SOP pelatihan PUSHAM UII, selalu ada materi outdoor. Kali ini peserta kami ajak berkunjung ke lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan. Materi lapangan diberikan untuk mendekatkan para aktivis dengan realitas. Harapannya, para aktivis bisa melihat realitas lain diluar komunitasnya dan yang paling penting bagaimana mereka menghadapi realitas itu.
Malam hari sebelum perjalanan, segala sesuatu dipersiapkan. Mulai dari konsumsi, mobil, dan hal lain yang diperlukan selama perjalanan. Kamis (03/07/2012) pukul 07.00 Wib, mobil berangkat dari Cilacap Selatan menuju ke Wijayapura (dermaga penyeberangan di Cilacap). Di jalan kami harus menjemput Ustadz Hasan Makarim. Ia adalah salah satu ustadz yang keluar masuk penjara untuk melakukan pendampingan kepada para narapidana. Kami ke lapas Nusakambangan, atas fasilitasi oleh sang ustadz.
Untuk sampai ke Pulau Nusakambangan, semua pengunjung harus melewati Wijayapura dan melapor kepada petugas (semacam administratur pelabuhan dari Lapas). Ustadz Hasan segera melapor dan menyampaikan maksud perjalanan kami ke Nusakambangan. Memang secara legal, PUSHAM UII sudah melakukan persuratan untuk kegiatan kunjungan yang akan kami lakukan hari itu.
Di Wijayapura aku seperti berada di kampung sendiri. Ada laut, pulau di seberang, kapal-kapal yang ditambatkan di pelabuhan dan berbagai kekhasan pesisir lainnya. Jika penyeberangan menggunakan KM Pengayoman II milik lapas, penumpang tidak perlu membayar. Kapal itu pulang pergi dari Sodong dan Wijayapura. Kalau kapal itu lewat, maka perjalanan harus lewat kapal kecil yang perorangnya membayar Rp. 5000. Perjalanan dari Wijayapura ke Sodong kira-kira 10-15 menit.
Di Sodong kami agak lama menunggu. Mobil transpas yang melayani perjalanan ke setiap LP sudah berangkat. Sehingga harus menunggu putaran berikutnya. Sampai di lapas kelas I Batu kira-kira pukul 11.00 Wiba dan kami di terima oleh kepala Lapas Batu yang juga koordinator kepala lapas se Nusakambangan.
Saat menginjakkan kaki di Nusakambangan apa yang aku persepsikan dengan Nusakambangan tentang kengerian, binatang buas dan sebagainya runtuh dengan sendirinya. Seperti halnya pulau-pulau lain di Nusantara, Nusakambangan memiliki pasir putih, nuansa alam yang indah dan udara yang sangat sejuk tentunya. Di sisi pinggir, agar curam dan beberapa bagian pulau itu di tumbuhi oleh mangrove. Tanaman khas yang biasa tumbuh di pesisir.
Aku berjalan-jelan mengamati beberapa bagian dari lapas batu ini. Di lapas inilah terpidana mati bom Bali di tahan sebelum akhirnya di eksekusi oleh tim Brimob. Di lapas ini ada masjid At Taubah di dalam lapas. Di luar disisi utara ada masjid At Taqwa. Aku sempat sholat dzhuhur di masjid ini. Di beberapa sisi yang lain juga ada kandang ternak, ada kolam-kolam ikan yang akan digunakan oleh narapidana untuk mengembangkan keterampilan dan bekal jika kelak mereka kemudian lepas dari Nusakambangan.
Di masjid at taqwa itu pula saya sempat bertemu dengan seorang napi yang sedang membakar belukar dekat masjid. Aku dan kawan Lutsfi berdiskusi kecil tentang bagaimana ia bisa masuk Nusakambangan. Aku mengenalkan diri “Mul”. “Imam” jawabnya. Rambutnya pendek, jenggotnya panjang, ia memakai jubah. “Kasus apa mas, kok sampai bisa masuk sini” tanyaku. “pasal 340” jawabnya dingin. Artinya mas imam ini terkena kasus penghilangan nyawa orang lain alias pembunuhan. Ngeri juga batinku. “Masih berapa lama” jawabku. “tinggal 2 bulan lagi” jelasnya.
Di Aula lapas batu kami bertemu dan berdiskusi dengan kepala Lapas. Termasuk ia menyampaikan program-program yang bisa dimitrakan dengan masyarakat. Selepas sholat dzuhur ada 5 orang yang di izinkan membesuk tahanan. Setelah itu kami bersiap-siap untuk perjalanan pulang kembali ke Cilacap.
Kami makan siang di Masjid Agung Cilacap dengan peserta pelatihan, termasuk dengan ustadz Hasan Makarim. Setelah makan siang bersama. Kami mohon izin pamit untuk pulang ke Jogja.