Piring berisi buah disajikan di meja oval siang itu. Dari merknya tertulis sate ayam “***omoro”. Ada teh dan juga air putih. Buah di piring. Posisi duduk peserta mengikuti meja rapat yang oval. Setiap pekan kami rutin melakukan rapat. Semua duduk berjejer, melingkar. Sebagian diantaranya anak-anak muda yang penuh semangat dan antusias. Suasana acap kali diam, mencekam. Kadangkala diselingi tawa.
Saya bergabung di Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah sejak akhir 2008. Prosesnya dimulai saat aktif di Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Oleh lembaga saya diminta terlibat pada sebuah inisiasi “kroyokan” pendampingan miskin kota antara IRM, PP Nasyiatul Aisyiyah dan MPM PP Muhammadiyah. Saya memang punya passion di bidang sosial kemasyarakatan. Saya pikir menarik. Sejak 2000-2002 saya terlibat pada pendampingan pertanian berkelanjutan, yang diinisiasi oleh Yayasan Perak, Makassar. Perak sendiri didirikan oleh sejumlah aktifis yang terlibat di Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) Sulsel. Saya juga belajar disiplin sosial ekonomi pertanian di bangku kuliah yang sedikit banyak memiliki kedekatan dengan concern lembaga ini.
Sebagai lembaga yang relatif baru di struktur Muhammadiyah, MPM memang terbilang banyak aktivitas. Scope pemberdayaan memang luas, mulai dari pertanian dalam arti luas (hulu – hilir), industri kecil, masyarakat miskin kota termasuk pedagangan asongan, industri kecil dan menengah, pendidikan ke aksaraan dan sebagainya. Yang paling fantastis tentu adalah kegiatan panen. Aktivitas tersebut terbilang tidak biasa di Muhammadiyah, tetapi bukan berarti tidak ada yang melakukan aktivitas itu di Muhammadiyah.
Catatan kecil ini merupakan refleksi personal atas perjalanan beberapa tahun terlibat di MPM.Tentu subjektif. Tetapi refleksi ini tetap perlu agar kita semua bisa arif dalam mencermati dinamika sosio-historis. Catatan ini akan mengulas seputar pemberdayaan masyarakat sekaligus saya ingin mengenalkan appreciative inquiry dan prakteknya dalam kerja pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan Bukan Sulap
“Jangan terlalu banyak teorilah” atau “kita langsung gerak saja ke lapangan” begitu seringkali saya mendengar. Termasuk saat beberapa pengurus mengajukan gagasan, khususnya pak Iqbal atau pak Amir. Keduanya memang seringkali menyampaikan gagasan-gasan yang sifatnya konseptual. “Ah teori” kira-kira begitulah. Ringkasnya, tindakan adalah satu-satunya pilihan yang harus dijalani.
Jika kita bijaksana melihat, mestinya dikotomi teori – tindakan ini tidak perlu. Seolah teori itu tanpa tindakan. Atau sebaliknya, tindakan tidak memiliki basis teoritik. Padahal dalam kenyataannya, tindakan setiap orang selalu dilandasi oleh teori (theory in use). Misalnya begini, seorang ibu rumah tangga yang memilih kayu bakar sebagai alat masak ketimbang kompor gas dilandasi dugaan bahwa kayu bakar lebih murah dari kompor gas. Ia akan mengujinya dalam kenyataan. Bila ternyata benar dugaannya, maka dugaan yang semula hanyalah spekulasi kemudian disebut dengan teori.
Dalam konteks pemberdayaan, teori akan memandu kita untuk mengembangkan agenda-agenda pemberdayaan. Yaitu semacam kompas yang bisa menjadi acuan kepada semua aktivis yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat memerlukan kerangka teoritik dalam operasionalisasinya yang dalam perjalanannya bisa dilakukan revisi-revisi. Karena memperdayakan masyarakat itu sesungguhnya bukan sulap “sim salabin” tiba-tiba lalu berubah. Memerlukan kerja panjang, sistematis dan massif. Sehingga diperlukan kesabaran. “Tidak grasak grusuk” meminjam istilahnya SBY.
Jika dicermati lebih jauh, apa yang dikerjakan di MPM masih pada level charity. Tapi tidak masalah, sepanjang ada kesadaran bahwa itu sifatnya sementara. Paling banter satu tahun. Selebihnya adalah bagaimana mengembangkan keswadayaan. Karena kalau ini diteruskan, yang muncul adalah semacam “kemanjaan”. Padahal yang diharapkan tumbuh adalah inisiatif dan kemandirian. Ada satu kelompok dampingan yang menarik pada konteks pendampingan MPM yaitu kelompok di Kokap & Ngoro-oro yang cukup mandiri, punya inisiatif dan saya pribadi mengapresiasi kiprah dua kelompok ini. Di dua kelompok itu saya terlibat sejak awal menyusun harapan-harapan bersama dengan mereka.
Yang juga penting adalah adanya gap antara orang dalam (the other) dengan orang luar. Kita seringkali merasa lebih pintar atau lebih tahu. Juga ada ketidak percayaan terhadap tim fasilitator sehingga harus menggandeng orang ahli (expert, teknokrat). Bukankah pemberdayaan itu adalah kesediaan belajar bersama, tumbuh bersama dan berkembang bersama? Baik oleh fasilitatornya atau pun oleh subyek yang sedang berproses menapaki tangga keberdayaan.
Hampir tidak ada apresiasi yang memadai terhadap adanya inisiatif yang berkembang dari akar rumput. Ini pernah terjadi di Bayumas, Purwokerto. Teman-teman Pemuda Muhammadiyah setempat mengembangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Mengkreasi sendiri modelnya. Mengembangkan pupuk cair organik yang bisa di produksi untuk kebutuhan ekonomis. Artinya bisa di jual. Bahkan mengembangkan sendiri secara kreatif penanganan hama tanpa menggunakan pestisida pabrikan. Oleh MPM kegiatan ini tidak dianggap pemberdayaan masyarakat karena tidak melibatkan konsultannya. Pada titik ini saya ingin masuk ke apa yang disebut dengan appreciative inquiry dalam pemberdayaan masyarakat.
Appreciative Inquiry
Pengetahuan ini menjadi begitu krusial mengingat peristiwa yang terjadi kelompok pemuda Muhammadiyah, Mletek Srengenge diatas. Elemen MPM perlu mengintrodusir pendekatan Appreciative Inquiry (disingkat AI) ini dalam kerja-kerja pendampingan dan pemberdayaan masyarakat.
Pada titik ini, apresiasi atau penghargaan terhadap hasil karya dan kerja-kerja pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh struktur Muhammadiyah menjadi penting. Apresiasi pertanda bahwa ada pengakuan eksistensi terhadap aksi pemberdayaan yang dilakukan. Toh, tidak ada ruginya. Malah bisa lebih bersinergi dengan kemampuan inovasi dan improvisasi yang tumbuh di kelompok pemuda tani Mletek Srengenge itu. Kolaborasi akan menghasilkan energi yang lebih besar untuk perubahan yang lebih positif.
AI di Indonesia memang belum terlalu popular. Tapi sudah mulai di introduksi sebagai pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat. Di gereja, pendekatan ini juga dipakai dalam kerja-kerja pelayanan pastoral. Sebagai sebuah organisasi dan entitas yang melekat dengan masyarakat, oleh karena itu geraja memahami betul bagaimana pelayanan yang lebih kontekstual. Di project ACCES yang didanai Australia, juga menggunakan pendekatan ini pada implementasi program-programnya.
AI di perkenalkan oleh Daniel L. Cooperride untuk pengembangan organisasi. Tetapi, saat ini metode ini cukup berkembang dan banyak dipakai baik oleh NGO maupun organisasi profit.
Inti dari Appreciative Inquiry sebenarnya terletak pada ‘seni mengajukan pertanyaan’ untuk melihat kemungkinan masa depan dengan dasar yang kuat yaitu pengalaman terbaik dan hubungan positif subjek (seseorang, organisasi, komunitas) terhadapnya. Dengan demikian, appreciative inquiry bekerja dengan asumsi bahwa lingkungan ini tercipta untuk mendukung sistem kehidupan dan selalu tersedia kapasitas yang sedang berjalan dengan baik. Untuk itu, proses Appreciative Inquiry menggunakan 4 (empat) penyelidikan dan penajaman dari pentahapan yang saling mengait dan berantai (INSPIRIT, 2009).
Pertama, tahap DISCOVER: melihat dan mengidentifikasi suatu proses yang sudah dan sedang berjalan dengan baik. Kedua DREAM: melihat gambaran ke masa depan dari proses tersebut yang mungkin bekerja dengan baik di masa yang akan datang. Ketiga, DESIGN: merencanakan dan memprioritaskan proses-proses apa yang mungkin bekerja dengan baik tersebut dan Keempat adalah tahap DESTINY (or DELIVER): adalah implementasi (eksekusi) dari rancangan (design) yang diajukan tersebut (INSPIRIT, 2009).
Jika mau mempelajari lebih jauh tentang AI, silakan akses ke sini (klik).
sebagai kerangka awal pola pemberdayaan yang hebat …
freire versi Indonesia.