Saya sering menjumpai forum yang dikendalikan oleh fasilitator tetapi agak susah membedakannya dengan achievement motivation training. Seolah si fasilitator ini sedang konser tunggal. Ia berceramah kira kanan tentang suatu topik dengan penuh passion. Bergairah. “Ini Mario Teguh, Ary Ginanjar Agustian atau siapaaaaa ini” dalam hati kecilku bergumam.
Jadi agak susah kita membedakan apakah ia seorang khatib atau fasilitator? Peserta forum diceramahi. Padahal jika ia seorang fasilitator mestinya tidak terlalu banyak bicara. Fasilitator kan hanya mengantar bagaimana forum mencapai tujuan. Ia mengingatkan aturan main. Menggelitik peserta dengan pertanyaan-pertanyaan kunci. Dan tentu menghadirkan kejenakaan tatkala forum sedang buntu. Entah dengan ice breaker atau game’s. Begitu pemahaman bodohku.
Yang paling menjengkelkan tentu adalah ketika khotbahnya sok tau (sotta: meminjam istilah gaulnya). Dan tentu proses ini tidak banyak memberi kontribusi. Dalam teori belajar, daya serap orang yang diceramahi hanya sekitar 10%. Selebihnya akan menguap. Entah kemana. Apalagi kelas yang penuh sesak. Pasti akan banyak yang tidak concern.
Karena itu fasilitator tidak perlu terlalu banyak bicara. Bicara kalau perlu, sekedar memberi pengantar, menjelaskan proses dan capaian yang ingin dihasilkan dari sesi. Selebihnya biarkan peserta berkreasi. Apakah mereka mau menggambar, bermusik atau menulis dan segala macam ekspresi yang ingin mereka bahasakan lewat kecerdasannya masing-masing yang multiple itu. Pada titik ini, mereka masuk kesuatu fase mengalami. Mengalami tentu akan melahirkan kesan. Dan lebih langgeng sifatnya. Tidak cepat menguap.
Peserta akan terseret dalam arus proses belajar. Yaitu suatu ruang dimana peserta didik kemudian terbebaskan pikiran dan tindakannya.
Itu biasanya fasilitator gadungan. Kalo fasilitator beneran mah ndak kayak gitu. Anda kurang beruntung 😛
setujuuuu, meskipun saya masih newbie jadi fasil tapi suka rada pengen misuh-misuh kalau ketemu fasil yang ikut-ikut masuk materi kek gini bhihi 😛