Sudah kurang lebih tiga bulan ini saya meninggalkan Jogja. Decak kerinduan membuncah. Kerinduan terhadap kota dengan semesta suasananya. Rindu dengan angkringan, titik nol, taman budaya, kampus (ugm), semesta kopi, dan tentu 302 (jalan kh ahmad dahlan). Sejak kuliah, saya memang jarang pulang ke kampung, lebaran sekali pun. Betah saja dengan suasana Jogja. Sampai saat ini. Dan tiba-tiba rindu itu datang mengusikku.
Benar kata penyair Joko Pinurbo, bahwa Jogja itu terbuat dari rindu, pulang dan Angkringan. Ya tanah itu selalu dirindukan. Oleh karena itu, mereka yang pernah berjejak di Mataram – sebutan untuk keraton Yogyakarta – pastilah memiliki kerinduan dan selalu ingin kembali ke Jogja.
Empat bulan yang lalu saya ikut seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tempat kelahiran saya. Ndilalah, aku yo diterima. Sehingga pada 20 juli 2013 dilantik dan diambil sumpah. Itulah, maka hari-hariku kini banyak dilalui di kampung (Kepulauan Selayar).
Ada banyak kota yang pernah saya singgahi. Tapi Jogja tetaplah yang paling berkesan. Entahlah, saat sore tiba dan malam menyambut suasana itu selalu ku rindukan. Sabang hari manakala sore menyapa, kami selalu habiskan waktu sambil ngobrol dengan teman-teman di angkringan. Bercanda dan saling mengumpat. Ngumpat SBY sampai Sultan. Ha..ha…
Susana ini yang senantiasa membekas. Susah dicari di tempat lain. Waktu berlalu begitu cepat dan kini aku merindumu. Merindu Jogja yang adem. Kuncen yang telah menjadi tempat singgahku. Ngontrak rumah dan tinggal disana bertahun-tahun lamanya.
Leave a Reply