Kali ini aku ingin mencatatkan sebuah pengalaman bertemu kembali dengan sahabat lama. Bermula saat lembaga dimana saya bekerja – kpu – digugat oleh beberapa aktivis partai politik. Di pertengahan oktober yang panas tahun 2013, datanglah aku ke Jakarta. Kedatanganku tentu berbeda dari biasanya. Aku ke Jakarta seringkali karena urusan dengan lembaga donor; entah meeting atau workshop, dll. Intinya soal kerja dan seringkali karena pengen jalan-jalan. Kali ini ke ibu kota sebagai persakitan. Terlapor dalam perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Aktivis partai mempersoalkan keputusan kpu. Dituding tidak indepenlah. Kroni sebuah pemerintahanlah. Dan banyak lagi tudingan yang memerih rasa. Jauh sebelum mendaftar di lembaga penyelenggara pemilu itu, sudah terbayang soal-soal ini. Jadi aku tidak terlalu kaget. Dan kujalani biasa-biasa saja. Yang pasti, aku bekerja diatas rule of law. Dan apa yang di putuskan KPU dalam kaca mata kami sudah prosedural. Semua proses sudah dijalani. Bahwa harus ada yang tidak senang, itu soal lain.
***
Usai sidang pembacaan keputusan, dimana dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) memutuskan untuk menolak keseluruhan aduan pengadu (aktivis parpol) dan merehabilitasi nama baik komisioner kpu. Sore itu aku janjian dengan sahabat-sahabat terbaik. Kawan semasa aktif di Jakarta & Jogja. Kami memiliki group’s whatShap (WA) untuk menyambung komunikasi dan silaturrahim. Lewat media itu ku kabarkan bahwa aku di Jakarta.
“Kopdar Yuk malam ini, aku di Jakarta nih?” ku lempar pertanyaan.
“Oh, acara apa bro di Jakarta”? tanya seorang kawan.
“Sidang etika di DKPP dab” jawabku.
“Ok, mau ketemuan di mana?” kawan Mamas bertanya.
“Bagaimana kalau di TIM aja. Aku nginap dekat sana kok” jawabku, dalam hatiku biar tidak terlalu jauh, ha..ha…..
“Ok ya, ketemuan di TIM, jam 09.00-nan lah, malam” pinta sahabat lainnya.
Sampai di penginapan sudah magrib. Aku lalu mandi untuk selanjutnya sholat magrib dan isya’ sekaligus. Kan, musafir jadi dapat dispensasi Tuhan. Tidak lama kemudian berangkat ke TIM. Tidak lupa aku bayar penginapan untuk hari kedua.
***
Malam menyapa. Penjual kaki lima berbaris menjajakan makanan di jalan Cikini Raya. Cahaya lampu jalan cukup terang. Taksi berhenti persis di depan kaki lima. Rupanya perut sudah tak mungkin diajak kompromi. Aku bergegas masuk. Di bagian kiri memang berjejer rapi penjual makanan. Kira-kira 100 meter dari pintu masuk, aku berhenti. Aku pandangi satu persatu, penjual mana yang agak kosong. Dan akhirnya ke kios ketiga dari depan. Suasana di dalam memang agak remang. Aku panggil pelayan kios. Ia segera datang membawa catatan dan menu pilihan.
“Aku pesan tong sen dan alpokat, kita?” ujarku kepada teman. Kujelaskan bahwa tong sen itu makanan khas di Jawa. Biasanya dari kambing muda. Tapi gurih lo.
“Sama mi juga” jawab teman kantorku.
Tidak lama kemudian makanan pun datang. Kawan yang pengusaha pun datang. Ia aktivis di sebuah organ kepemudaan level nasional. Asli orang Sengkang, Wajo. Sangat kreatif orangnya. Mungkin saking kreatifnya ia di pecat dari kampusnya. Berselang 5 menit, datang juga sahabat dari Papua. Sahabatku yang satu ini adalah pamong di Bintuni. Ia lulusan sekolah pemerintahan di Jakarta ini. Senang membuat puisi. Ia memanggilku abang. Sebab aku lebih senior dari dia.
Lalu sahabat-sahabat yang lain juga datang. Aku lebih senang menyebut dia pengawal taman nasional di teluk cendrawasih. Ia sedang ada pelatihan di Departemen Kehutanan di kawasan Matraman. Dulu kami sama-sama di Departmen Sosial Ekonomi Pertanian UGM, hanya beda jurusan. Ia minatnya komunikasi dan penyuluhan pertanian, sementara saya ekonomi pertanian. Aku tidak senang menggunakan term agribisnis.
Malam itu kami diskusi banyak hal. Mulai dari pekerjaan. Kehidupan keseharian hingga romantika saat aktif di organisasi. Cerita kelucuan-kelucuan yang kami lakukan dulu. Tertawa. Ya kami menertawakan ke luguan kami. Menertawakan tingkah laku kami. Menertawakan peristiwa-peristiwa masa lalu.
Ada suatu peristiwa yang perlu aku garis bawahi. Suatu waktu kami melakukan rapat pleno di Puncak, Bogor. Kebetulan acaranya di mulai sejak hari kamis. Lalu pada hari jum’at kami menunggu-nunggu suara adzan. Mencari dimana masjid yang akan ditempati sholat jum’at. Lama menunggu tidak jua kedengaran adzan. Akhirnya diputuskan untuk sholat jum’at di villa. Dan aku di mandat jadi khatib jum’at. Kebetulan memang kami ada 10-an orang waktu itu. Maka jadilah aku khatib dadakan.
Aku gunakan plano untuk menjelaskan materi khutbah-ku siang itu. Sebagai fasilitator, tentu tidak asing lagi dengan plano. Boleh dikata plano adalah bagian dari kehidupan seorang fasilitator. Lewat plano itulah bongkahan-bongkahan gagasan dicatatkan. Entah ia datang dari peserta training, atau yang hadir dibenak si fasilitatornya. Dan siang itu aku menggunakan medium itu untuk berkhotbah. Ya, khotbah pakai plano. Rada aneh memang. Tapi kan tidak juga ada larangan.
Ku ulas ayat yang sering ku baca di buku “Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi”. Buku yang sering aku diskusikan di banyak forum taruna melati. Atau di diskusi-diskusi lepas. Al-Imran: 110. “Kuntum khoira ummah, ukhrijat li annas, ta’muruna bil al ma’ruf wa tanhauna anil mungkar” artinya kira-kira begini: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Ku jelaskan tiga gagasan pokok yang kemudian melatari gagasan profetiknya pak Kuntowijoyo.
Saat sholat yang imam adalah seorang sahabat. Ia alumni muallimin Jogjakarta dan UIN Sunan Kalijaga. Makhorijul hurufnya mantap sekali. Saking mantapnya, anak-anak yang jadi ma’mun tidak kuat menahan tawa. Akhirnya pun pecah tawa itu. Aku ingat betul bagaimana Ilham, Putra dan Macchendra ketawa. Aku pun jadi tidak concern dan meninggalkan shaf sejenak. Ya begitulah.
Malam itu juga kami cerita soal bagaimana seringkali kami bersitegang. Ya menertawakan hal-hal yang dulu serius. Juga kami membincang hal-hal apa yang kedepan bisa dilakukan. Mendorong kawan-kawan berkreasi. Masuk ke ruang-ruang dimana mereka bisa berpartisipasi dengan gagasan, pengalaman dan cita-citanya.
Thanks so much my best friends.
Persahabatan… Modal sosial yang takkan pernah lekang oleh jaman..
Selamat berkarya untuk Negri kawan… 🙂
asal syarat sah khutbah jum’at terpenuhi saja .. wakakakakka