Pagi itu, medio Agustus 2014 saya bersama kawan Risal Suaib (saya memanggilnya Bung Jak) dan Ishak Salim ikut forum bulanan yang dihelat oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Topiknya menarik: desa. Saya duduk di pojok sekali. Menikmati kacang, pisang rebus dan segelas teh yang acap kali disuguhkan oleh lembaga yang didirikan oleh almarhum Sartono Kartodirjo itu. Ishak mengambil posisi didepan. Sementara Bung Jak duduk di pojok lain bersama seorang kawan dari Flores, NTT.

Sambil menikmati kacang rebus, saya mencermati pembicaraan narasumber di depan. Ada tiga yang bicara pagi itu; Bambang Hudayana, Kepala PSPK UGM; Arie Sujito, dosen Sosiologi Fisipol UGM; dan Budiman Sudjatmiko, anggota Komisi II DPR R.I. yang juga mantan Pansus UU Desa yang ikut memberi nuansa diskusi pagi itu.
***
Usai forum (di UGM) itu, pembicaraan soal desa masih dilanjutkan. Kami bergeser ke selatan kampus. Tepatnya di Kota Baru. Di situ berdiri sebuah warung kopi yang cukup elegan. Bersama Bung Jak saya acap kali membunuh waktu di tempat itu. Tak perlu penjelasan kepada pelayannya. Ia pasti sudah paham kopi jenis apa yang harus disuguhkan untuk kami. Tak berapa lama meluncurlah kopi dan jamur goreng ke maja bundar yang kami tempati.
“UU Desa ini adalah pintu masuk yang penting. Tapi UU ini tak ada artinya bila pemerintah dan masyarakat desa tidak punya visi tentang desa mereka” celotehku memulai kembali pembicaraan siang itu.
“Cakap sekali itu bro” Bung Jak mengamini pendapatku.
“Salah satu soal krusial memang, yaitu bagaimana kreatifitas dan inisiatif pemerintah desa untuk mengelola sumber daya desa secara maksimal. Tentu memperhatikan karakteristik wilayahnya” ujar Bang Jak memberi penjelasan dengan suaranya yang khas.
Kami sepaham pada pokok pikiran bahwa desa adalah masalah yang amat penting. Bahkan tidak hanya penting, tetapi strategis. Strategis karena ada banyak rakyat yang hidup di pedesaan, baik di desa dengan corak agraris atau pun pesisir. Data sejumlah studi menyebut bahwa jumlahnya mencapai 50,02 persen.
Sementara UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disahkan oleh DPR hanyalah pintu gerbang dan payung bagi desa untuk berkembang. Tetepi tidak cukup dengan UU itu saja. Harus ada road map dan agenda aksi yang jelas dan terukur. Sehingga program-program desa lebih maksimal dan bisa mendorong desa lebih produktif. Artinya, dengan adanya politik affirmative yang dilakukan pemerintah terhadap desa sedemikian rupa bisa mendorong emansipasi bagi entitas di desa, tidak saja pada dimensi ekonomi (kesejahteraan), tetapi juga pada dimensi sosial dan budaya.
***
Ada tiga catatan penting dalam konteks memperkuat, memajukan, dan mendorong kemandirian desa yaitu pelindungan, pemberdayaan dan kepemimpinan apatur desa.
Pertama, perlindungan yaitu adanya ruang pengakuan dari Negara bagi diversitas atau keragaman desa dan seluruh sistem yang ada dan membentuknya. Termasuk adanya pengakuan terhadap desa adat. Artinya Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Kesempatan ini perlu di maksimalkan oleh desa dalam menjalankan pemerintahan di desa.
Kedua, pemberdayaan yaitu adanya kekuasaan bagi desa (beserta masyarakatnya) untuk menentukan sendiri kebijakan dan program-program pengembangan desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Karena itu pada demensi ini, perencanaan yang bersifat partisipatif amatlah mendasar dalam kerangka memfasilitasi kebutuhan rakyat desa. Artinya, program-program desa haruslah berangkat dari kehendak dan kebutuhan bersama masyarakat. Tidak lagi melulu datang dari pusat atau pemerintahan diatasnya.
Pada aspek pemberdayaan masyarakat ini maka kehadiran pendamping penting dalam rangka mengawal sejumlah agenda, mulai dari perencanaan sampai kepada hal-hal teknis pelaporan keuangan. Rekruitmen pendamping ini tentu penting mempertimbangkan komitmen mereka yang akan terlibat dalam pendampingan desa. Jadi rekrutannya tidak hanya sekedar mencari kerja, tetapi memiliki ideologi keberpihakan terhadap desa, memiliki perangkat ilmu alat seperti participatory rural appraisal dan kemampuan fasilitasi kelompok yang mempuni.
Berikutnya yang penting dari pendampingan ini adalah memberi ruang bukan hanya kepada perseorangan, tetapi juga kepada Organisasi Nonpemerintah (NGO) atau Perguruan Tinggi untuk bisa berpartisipasi dalam skema-skema pendampingan desa.
Ketiga, agenda pengawalan desa lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu kapasitas kepemimpinan aparatur desa. Walau pun sudah tersedia perundangan yang menjadi payung bagi pengembangan desa, tetapi kembali lagi kepada kapasitas kepemimpinan aparatur di desa.
Sejumlah pengalaman memberikan pembelajaran kepada kita bahwa kapasitas kepemimpinan menjadi sangat penting dalam pemajuan sebuah desa. Pada level yang berbeda, kapasitas kepemimpinan bisa dilihat pada pengalaman kota Surabaya (Risma), Bantaeng (Nurdin Abdullah), Bandung (Ridwal Kamil), Yogyakarta (Herry Zudiyanto), dan Bojonegoro (Kang Yoto).
Setidaknya ada tiga level pengembangan kapasitas pemeritah desa yang penting dalam mengawal UU desa yaitu level individu, lembaga dan sistem.
Pada tingkat individu mencakup kemampuan dan kualifikasi individu, sikap, etos kerja dan motivasi para perangkat desa. Level lembaga yaitu mencakup struktur organisasi, tata kerja, SOP dan proses pengambilan keputusan. Dan pada tingkat sistem yaitu bagaimana kerangka pengaturan yang baik yang bisa memungkinkan pencapain tujuan-tujuan strategis desa.
Dengan demikian, pengembangan kapasitas tidak hanya berhenti pada individu, kelembagaan, tetapi juga ada sistem yang memungkinkan kondisi lingkungan dalam pencapaian tujuan. Sehingga meskipun individu (kepala & aparatur desa) berganti pemerintahan desa tetap bisa eksis dengan budaya organisasi yang mapan. Wallahu A’lam.
Yang saya perhatikan pas jalan ke desa kemarin juga rasanya akses informasi masyarakat pedesaan juga kurang. Dengan akses informasi melalui internet dan juga pendampingan potensi pedesaan sepertinya besar sekali.
tinggal bagaimana pemerintah desa mengorganisir dan memetakan permasalahan di desa lalu mencari jalan keluar terbaik.