Pagi itu cerah sekali. Mobil yang kami tumpangi meraung-raung. Menanjak sisi-sisi bukit Desa Patilereng yang terjal. Dengan lebar jalan yang hanya cocok untuk satu kendaraan roda empat. Jalan masih basah. Sementara dari arah timur, sang surya merangkak naik. Memancarkan cahaya. Memberi kehidupan bagi semesta alam.

Setelah meliuk-liuk melewati bukit yang berkelok kami pun sampai di pantai timur. Kami segara melirik kiri kanan. Menelusuri tiap sisi Ngapaloka, mencari mobil rombongan kami yang lain.
“Jangan-jangan mobil Fahmi terus ke Jammeng”? ujar Akbar bertanya.
“Ayolah, kita susul saja kesana” jelas Irwan.
Sampai di Jammeng, tidak satu pun mobil yang dimaksud. Kami bertanya kepada seorang penduduk paruh baya yang melintas dipinggir jalan.
“Tidak ada mobil lewat pak” terang si Bapak.
“Berarti mobil pak Fahmi sempat singgah, jadinya kita lebih dahulu yang sampai. Ayo kita balik, nanti nunggu di Ngapaloka saja” ujarku menjelaskan sembari mengajak untuk balik ke Ngapaloka.
Baru beberapa saat meninggalkan Jammeng, mobil si Fahmi muncul. “Nah itu dia” kata Irwan dengan logat khas Sundanya. Fahmi mengikuti kami hingga ke Jammeng.
Akhirnya kami kembali ke Ngapaloka bersama Fahmi. Disana beberapa teman yang satu mobil dengan pak Jamil dan Fahmi sudah menunggu. “Ah kalian ini” tukas pak Jamil dengan muka cemberut, hi..hi…
***
Tiba saatnya angkut tabung. Ini nih yang gak enaknya kalau diving. Capek coy angkut tabung. Tapi gak apalah, demi menikmati keindahan bawah laut. He.hee… alasan.
Jadi persoalan kemudian karena si empunya perahu belum datang. Padahal pak Aidin sudah menghubunginya beberapa waktu sebelumnya. Mau kontak tapi tidak ada jaringan. Wah tobat (kampungnya) umat Islam ini. Sementara si mentari beranjak terus naik. Kurang lebih pukul 10.00 baru si empunya kapal datang. Sampai di pantai rupanya kapalnya masih di bibir pantai. Ya elah, kami coba dorong. Tidak bergerak. Akhirnya nunggu air pasang. Sembari mengisi waktu, kami belajar teori penyelaman dengan pak Jamil.
Pak Jamil ini instruktur kami di PADI. Aku dan beberapa kawan; Irwan, Akbar, Sjarif & Om Dok sedang ambil advance.
***
Setelah air pasang dan kapal bisa goyang. Diving gear dinaikkan ke kapal. Mulai dari tabung, tas, makanan, air (putih, kopi & teh) minuman dan sebagainya.
Dari pantai Ngapaloka, kapal bergerak agak ke kiri. Kurang lebih 15 menit sampai di spot. Pak Jamil mengok ke bawah. “Wah putih semua nih karangnya, kayaknya di bius atau habis dibom nih lokasi” tukasnya.
Aku mencoba melihat juga. Rupanya memang karang permukaan hancur. Memutih. Dalam rentang yang cukup luas. Kami lalu mencoba mencari titik yang pas untuk penyelaman pertama.
Di spot pertama ini meski karangnya sudah memutih (kayak uban aja sodara-sodara) dibagian permukaan, tetapi menyusuri dinding kami menemukan kehidupan karang yang masih oke. Semakin kedalam (20 meter), semakin kelihatan bahwa masih ada tersisa. Kami mencoba menyusuri dinding karang itu. Fun dive di wall. Alhamdulillah.
Hari itu rencananya kami akan tiga kali dive. Dua kali siang dan satu kali malam (night dive bro…) di depan pantai Ngapaloka. Aku hanya ikut dua kali saja.
Di penyelaman kedua juga bagian atas, terumbu karang banyak yang mati. Kondisinya rapuh akibat bom dan memutih. Karena mati, maka ia kehilangan pigmen. Jadilah berwarna putih.
Destructive and illegal fishing macam ini sungguh terlalu. Di samping merusak karang. Juga mengganggu ekosistem perairan. Nah kalau ekosistem tergantu. Efeknya kemana-mana. Termasuk mengganggu kite-kite yang hobby diving. Ingin ku tjongkel hidungnya si pembom itu. Erosi nih pemirsa…
Ya Tuhan, sadarkan anak-anak manusia itu. Getarkan hatinya. Amin. Ayo ya aminkan sodara-sodara.
waduh, jadi miris dengernya. moga aja yang nge bom itu tobat
aduh, miris juga bacanya…. ya ampun,,, titip jaga laut indonesia, teman2 yg ada di daerah pantai.
Siap
Bagus tuh.. sayang saya Ndak bisa nglangi