Episode berikutnya yang ingin saya share yaitu sholat jum’at di Masjid Cheng Ho yang jaraknya tidak jauh dari jakabaring sport center. Kami ke masjid Cheng Ho berempat saya, Zulfikar, Arman dan Aan. Kami naik mobil diantar si Arman yang asli anak Palembang. Meski pun begitu, letaknya masih harus berkelok-kelok bahkan masuk ke kawasan perumahan. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meter dari pusat kota Palembang.

Masjid ini dibangun pada tahun 2005 dan mulai dipakai untuk ibadah pada tahun 2008. Menurut sumber yang kami peroleh, masjid ini merupakan representasi tiga kultur, yaitu Arab, China dan Melayu. Halamannya relatif luas untuk parkir mobil dan motor. Masjid ini dicat dengan warna merah dan hijau giok. Dibagian depan, gerbang dan menara masjid ini nampak menyerupai klenteng-klenteng di china daratan.

Setelah parkir mobil, saya menyempatkan diri melihat-lihat beberapa bagian dari masjid seperti interior, tempat wudhu, dan perpustakaan. Oh iya, masjid ini juga terdiri atas dua lantai. Setelah puas, saya lalu mengambil air wudhu. Tempat wudhunya juga bersih. Kemudian sholat tahiyatul masjid. Di masjid ini juga menggunakan dua kali adzan, sebelum khatib naik mimbar dan setelah khatib naik mimbar. Mirip di Masjid Al-Markaz Al-Islami, Makassar.

Masjid ini melambangkan akulturasi budaya Melayu, China dan Arab sekaligus simbol Muslim China di bumi Sriwijaya itu. Disamping sebagai rumah ibadah, masjid ini telah bertranformasi menjadi destinasi wisata di kota Palembang.
Pulau dari Masjid Cheng Ho, saya mengunjungi pasar 16 ilir. Keling dari lantai dasar hingga ke lantai empat. Siang itu saya cari-cari songket Palembang. Pasar 16 ilir ini terletak ditepi sungai musi. Selain di pasar 16 ilir, songket juga banyak dijual di kawasan pengrajin songket yang kurang lebih dua kilo dari benteng kuto besak, saya lupa persis nama kampungnya karena sore hari sepulang dari makan mie celor sempat lewat dikawasan pembuat songket itu.
Di sisi pasar ini terdapat pusat kuliner. Ada gerobak, bahkan juga ada rumah makan terapung. Disisi ini pula jadi pelabuhan untuk taxi air yang orang Palembang sebut dengan “getek”.

Getek ini merupakan angkutan sungai yang dipakai sejak lama di sungai musi sebagai kendaraan yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya.

Dikawasan ini disamping pasar 16 ilir ada banyak sekali tempat yang bisa di datangi seperti benteng kuto besak, jembatan ampera, monument perjuangan rakyat, masjid raya Palembang, gedung-gedung dengan arsitektur lama di sepanjang sungai musi, perkampungan tua, dan perkempungan arab.
Di kawasan ini ramainya luar biasa. Waktu terbaik untuk menikmati lokasi ini yaitu pada malam hari sambil menikmati minuman di tepi sungai musi.
***

Hari berikutnya saya berkunjung ke Pulau Kemaro. Ini adalah destinasi terakhir yang saya kunjungi karena besoknya saya akan balik ke Jakarta. Karena sudah ada janjian dengan kawan saya ketika di Yogyakarta Nugroho Noto Susanto, yang saat ini menjadi aktivis agraria di Provinsi Riau.

Pagi-pagi seusai sarapan saya jalan kaki dari kampus UM Palembang ke kawasan jembatan ampera. Mungkin ada sekitar satu kilo meter jaraknya. Dua hari sebelumnya memang sudah saya sampaikan keinginan itu ke panitia. Tetapi karena panitia juga sudah mengagendakan pada hari minggu, sementara saya hari minggu pagi sudah harus berangkat ke Jakarta. Jadi saya minta diantar saja sama Arman.

Kurang lebih pukul 10.00 Wib saya kirim pesan ke Mas Paryanto, intinya mengajak ke pulau Kemaro. Meski pun ia orang Palembang, katanya sudah lama ia tidak pernah ke pulau itu. Terakhir kali pada saat masih kecil. Saya menunggunya di benteng kuto besak. Ia bersama Arman naik mobil. Kami janjian ketemu di tempat parkir.

Sejak turun dari mobil, Arman dan mas Totok dikerubuti oleh agen pengemudi getek. Mereka berbincang dalam bahasa Palembang yang saya tidak mengerti artinya. Sampai kemudian disepakati harga, yaitu Rp 115,000 pulang pergi. Dan kami lalu naik getek melewati jembatan legendaris itu, membelah sungai dan menyaksikan rumah-rumah yang dibangun diatas air. Di kiri sungai ada pasar 16 ilir di kanan sungai ada kampung kampung 7 ulu, dan kompleks arab.

Rumah-rumah di koridor selatan (kampung Ulu) sungai nampak tertata apik dan bersih. Berbeda dengan rumah yang berada disisi utaranya yang terlihat agak “jorok”. Barangkali ini dipengaruhi oleh pola pemukiman yang terbentuk sejak lama, yaitu masa kerajaan dimana masyarakat di koridor utara yang merupakan wilayah kerajaan dan di selatan yang merupakan masyarakat biasa.
Sepanjang sungai perahu-perahu tertambat. Demikian pun dengan “SPBU” yang ada di atas air. Kapal cepat yang tertambat di pelabuhan penyeberangan ke pulau Bangka. Keangkuhan pabrik penghasil pupuk terbesar di Indonesia (PT Pusri), dan kapal-kapal tongkang (batubara) yang buang sauh. Kapal pengangkut barang yang penuh muatan, dan getek yang hilir mudik. Itulah kehidupan sungai yang padat nan ramai.

Dari getek yang kami tumpangi tampak sejumlah orang mengangkat pasir menggunakan mesin dari dasar sungai yang sudah cukup dalam. Saya lihat juga seorang pencari ikan menarik jaringnya. Dan seabrak kehidupan ala sungai yang indah dan penuh pesona itu.
Sungai musi bukan hanya soal jembatan ampera. Bagi orang Palembang sungai ini adalah denyut kehidupan. Dimana banyak orang menyandarkan aktivitas pencahariannya dari sungai ini. Berdagang, jasa angkutan, taxi air, pelabuhan dan mencari ikan. Semua menjadi satu kesatuan membentuk kebudayaan “tepian” yang kompleks.

Kami menyusuri sungai musi siang itu hingga ke delta kemaro. Sebuah delta yang terbentuk akibat proses alam yang persis berada di tengah sungai musi.
Sesekali air sungai terpercik tatkala berpapasan dengan kapal. Arman dan mas Totok membetulkan duduknya. Ia berada ditengah ketek itu. Saya duduk agak didepan. Soal kapal-kapal beginian saya sudah sangat familiar dalam kehidupan bahari di Kepulauan Selayar. Justru yang sangat saya nikmati adalah pemandangan susur sungai yang eksotik yang membedakannya dengan kebudayaan maritim.

Perjalanan ke delta kemaro ditempuh jauh lebih cepat dibanding saat pulang. Sebab saat berangkat dari tambatan perahu di depan benteng kuto besak, getek didorong oleh aliran sungai. Sementara saat balik dari kemaro, getek akan berhadapan dengan aliran arus sungai yang deras.
Setelah dimanjakan dengan pemandangan kehidupan sungai, akhirnya kami sampai di tambatan perahu delta kemaro. Di depan berdiri gerbang “selamat datang makmur sejahtera” dengan cat merah khas pecinan dan dua ekor naga dibagian atas gerbang. Lampion-lampion yang diikat berjejer seolah berbaris mengikuti pohon pinang.

Dari gerbang, sebuah jalan setapak dari semen menghubungkan ke bangunan kelenteng “Hok Tjing Rio” dan prasasti sejarah (buatan tahun 2009) dibalik historitas delta itu. Saya lalu membaca legenda Siti Fatimah yang disunting oleh saudagar Tionghoa itu (Tan Bun An).
Memasuki gerbang itu seolah sedang ziarah ke kampung pecinan di Semarang. Warna khas merah, lampion-lampion dan pernik-pernik yang menambah aroma pecinan delta itu. Ditambah pohon besar yang tumbuh di area delta yang jumlahnya dapat dihitung. Konon pohon beringin di dekat pagoda itu dipercaya sebagai pohon cinta yang dapat mempertemukan seseorang dengan jodohnya.
Kami lalu mengelilingi pulau itu. Mengamati hal-hal detail dari jarak yang paling dekat. Berfoto didepan pagoda yang menjadi ikon delta itu.
Setelah dirasa cukup keliling kami lalu istirahat di penjual minuman. Membeli dan menikmati air kelapa sembari ngobrol ngalor ngidul. Termasuk mempertanyakan soal, mengapa ikon di delta itu pagoda dan klenten? Padahal Fatimah kan muslim. Menurut mas Totok, salah satu kompensasi dari itu adalah pembangunan masjid Ceng Ho di kawasan Jakabaring.

Teguk demi teguk air kelapa masuk ke kerongkongan. Lalu amblas masuk kedalam perut. Beberapa batang tembakau pun sudah ludes. Mas Totok sangat menikmati rokoknya siang itu. Dan saatnya kami balik ke Palembang. Mengambil jalur utara dengan tantangan melawan arus sungai.
Sesampai di depan benteng kuto besak. Kami istirahat di foodcourt makan siang dan menikmati kopi di kafe Batavia. Sebuah coffee shop yang berada di tepian sungai musi. Kami nongkrong menghabiskan waktu. Diskusi banyak soal mulai dari social, agama hingga ke politik kontemporer. Soal bagaimana belajar ala pastor-pastor di Jesuit sembari melihat orang lalu lalang. Diantaranya ada yang berselfie ria dengan pacarnya. Ada juga yang sekedar menikmati naik getek berputar-putar didekat jembatan.

Diluar hujan turun cukup deras. Jadilah kami berlama-lama ditempat itu. Menghabiskan kopi pesanan.

