Sejumput Cerita Dari MIWF 2016


Pada suatu pagi (mungkin sekitar April awal), saya membuka path. Salah satu teman satu lorong saya adalah kak Ami. Ia mengunggah kabar tentang penyelenggaraan Makassar International Write Festival (MIWF) tahun 2016 yang diselenggarakan di Fort Rotterdam pertengahan Mei.

Saya sudah lama mendengar festival tahunan ini, semenjak saya masih tinggal di Yogyakarta. Meskipun demikian, saya belum pernah sama sekali mengunjunginya. Padahal saya kurang lebih sudah masuk tahun ke tiga di Selayar. Dan sejak di Jogja itu, saya pengen bangat datang.

Sehingga begitu kak Ami posting, saya sudah merencanakan untuk ke Makassar. Namun karena kesibukan menyelam, terutama di bulan Mei yang banyak sekali liburnya sehingga saya hamper lupa dengan acara tersebut. Baru tanggal 18 Mei itu sepulang dari menyelam menyempatkan buka twitter dan membaca informasi bahwa telah dilangsungkan pembukaan acara MIWF, dimana Dee hadir dihari pertama itu. “Sayang bangat ya, gak bisa jumpa dengan Dee, si penulis kreatif itu” gumamku dalam hati.

Sepulang dari dive center, saya menyiapkan pakaian. Recana habis sholat subuh akan berangkat naik motor ke Makassar dengan fery pertama. Tanpa mengkonfirmasi waktu keberangkatan kapal, saya pacu motor Yamaha F1ZR keluaran tahun 2004 itu ke Pelabuhan Pamatata. Dalam pikiranku, kapal akan berangkat seperti biasa pukul delapan pagi. Jadi saya berangkat kurang lebih pukul tujuh pagi dari Benteng, ibu kota Kepulauan Selayar. Dengan kecepatan 70 km/jam jarak Benteng – Pamatata dapat ditempuh satu jam perjalanan.

Sampai di pelabuhan kapal sudah siap berangkat dan randor sudah tertutup. Itu artinya saya ketinggalan kapal dan harus menunggu lima hingga enam jam lagi. “Slompret” begitu orang jawa acapkali kalau mengumpat.

Saya lalu ke bale-bale paga’de (pedagang kaki lima) yang ada di tempat mobil lintas Selayar-Makassar ini biasa parkir. Disana merebahkan badan dan istirahat. Apalagi perjalanan Bulukumba – Makassar cukup membutuhkan energi dalam terik metahari yang membakar.

Setelah terbangun, saya keluarkan buku dari tas. Ada dua buku yang saya bawa, kesemuanya tentang pariwisata. Rencananya di kapal fery saya mau menulis. Menuntaskan tulisan untuk bulletin Taman Nasional Taka Bonerate yang mau deadline. Membuka beberapa lembar dan menandai beberapa hal yang saya anggap penting dengan kertas-kertas berwarna yang kubeli beberapa waktu lalu.

DSC_5197
Kolaborasi Indonesia – Australia
MIWF-1
Musikalisasi Puisi
MIWF-2
Penyair Joko Pinurbo sedang beraksi
MIWF-8
Ary – Reda Perform

Di kapal fery saya sengaja duduk di VIP room, biar dapat pendingin udara. Cukup bayar Rp. 10,000 kita bisa menikmati tempat duduk busa, film, dan pendingin udara. “Mas, dimana ada colokan listrik” tanyaku pada anak buah kapal yang menjaga ruang VIP itu. “Itu di depan pak” sambil menunjuk kearah tempat duduk yang ada colokannya.

Saya pun lantas beranjak menuju tempat yang dimaksud si ABK. Ambil posisi duduk, mengeluarkan senjata – laptop – dan mulailah saya mencatat. Kira-kira 45 duduk, ngantuk mulai menyerang. Akhirnya tulisanku tidak kulanjutkan. Saya mencari tempat yang agak kosong untuk berbaring. Lumayan dapat beberapa menit tidur bisa saving energi untuk perjalanan naik motor Bira – Makassar.

Jam tujuh malam sampai di panakkukang. Simpan tas, mandi lalu cari makan malam. Sengaja simpan tas, sebab naik motor di Makassar pada malam hari memakai tas rawan sekali dibegal. Sudah banyak peristiwa yang perlu menjadi pembelajaran buat pengendara motor. Saya malam itu janjian dengan Haris Zidan (anak S2 pendidikan guru di UNM dan giat di majalah Khittah) dan Awang Darmawan (wartawan tempo Makassar).

Di pintu masuk Fort Rotterdam panitia menyambut peserta yang berdatangan. Menyodorkan presensi. Saya berusaha mencari rundown acara biar bisa menyesuaikan waktu. “Sudah habis kak” demikian penjelasan seorang volunteer perempuan yang saya tanya. “Ok, gak apa-apa” jawab saya.

Malam itu perform pertama yang tampil adalah kolaborasi tari antara mahasiswa Indonesia dengan Australia (kalau tidak salah). Soalnya saya tidak terlalu paham dengan tari-tarian. Perform berikutnya adalah musikalisasi puisi dari anak-anak kata kerja. Disusul oleh pembacaan puisi dari beberapa penyair. Salah satu yang paling kuingat yaitu penyair asal Ambon yang menggelegar suaranya. Saya lupa persis namanya. Lalu beberapa penyair masyhur seperti Aan, Hasan Aspahani, dan Jokopin. Kebetulan saya menunggu-nunggu memang penampilan mas Joko Pinurbo ini. Saya suka puisi-puisinya yang ringkas. Pemungkasnya adalah penampilan musikalisasi puisi Ary-Reda. Saya senang sekali dengan perform mereka malam itu. Apalagi menampilkan puisi-puisi pak Sapardi.

Oh iya, malam itu sebenarnya saya mencari-cari kak Ami. Sehingga saya jalan kesana kemari. Tapi saya tidak menemukannya. Malam kubuka path ku, beliau sudah di Jakarta. He.he.. mungkin belum waktunya.

MIWF-3
Ketemu dengan Ary – Reda
MIWF-5
Khrisna Pabicara Membacakan Puisi

***

Saya datang pagi ke Rotterdam rencananya mau ikut acara, tetapi karena ruangan penuh sesak akhirnya cari tempat nongkrong. “Ikut yang sore saja” pikirku dalam hati.

MIWF-6
Peserta Bermain Di Taman Pustaka

Sorenya (20/5/16) saya ketemu kak Ridwan Alimuddin, pendiri perahu pustaka. Kebetulan dia lagi ngobrol dengan seorang yang juga saya kenal. Beberapa waktu lalu saya menemani timnya snorkeling dan scuba intro (menyelam untuk pertama kali di kedalaman 5 meter) di Taman Nasional Takabonerate. Kakanya Nadya, ketua KPU Pare-pare. Kami ngobrol-ngobrol soal perahu pustaka, literasi dan dunia laut. Saya bangat gitu loh, he..heee..

Ceritanya sore itu saya mau ikut bedah bukunya Eka Kurniawan, penulis novel dan lulusan filsafat ugm. Sore itu ada beberapa pilihan kegiatan yang bisa diikuti. Tapi saya memang berencana mengikuti proses kreatif menulis Eka. Sore itu yang memandu kang Maman. Peserta banyak. Penuh. Ada yang berdiri. Duduk dikursi. Meluber hingga keluar ruangan. Ditengah peserta juga nampak sineas Mira Lesmana juga ikut jadi peserta diskusi buku. Bahkan ada dari Jawa, dan Malaysia. Saya kebetulan duduk jajaran tengah, tapi disisi pinggir. Sengaja mengambil posisi duduk itu untuk sesekali memotret. Pas saat berdiri saya menoleh kebelakang. Ada juga senior saya. Orang Takalar tapi sudah berdomisili di Sangata, Kaltim. Kebetulan sedang S2 di jurusan sejarah peradaban Islam, UIN Alauddin.

Usai diskusi kami sholat magrib lalu keluar ke popsa cari kopi dan pisang goreng sambil menunggu acara malam yang biasanya mulai pukul dua puluh. Dalam percakapan kami, belakangan seorang teman juga menyusul akan bergabung. Namanya Ilham, kini menjadi wakil rakyat di Kabupaten Takalar. “Selamat kita, makan malam aman” demikian haris berceloteh. “Kenapa begitu Haris”? tanyaku menyelidik. “Kan ada pak dewan” jelasnya. “Ah kau ini, kalau urusan makan saya masih bisalah ajak kalian makan. Yang penting jangan tempat-tempat elit” ujarku. Kami lalu ketawa terbahak-bahak. Menikmati sore yang beranjak menuju malam yang pasti.

Dan malamnya kami menikmati sinrilik, permainan gitar dan gendang, pembacaan puisi oleh beberapa penyair seperti kolaborasi Khrisna Pabicara dan Luna Vidya yang cukup memukau. Saya senang betul dengan puisi Chairil Anwar yang dibacakan kak Khrisna pabicara. Pentas kolaboratif Indonesia-Australia yang dikreasi oleh Ade Suharto & Peni Chandra Rini bertajuk Ontosoroh.

Usai acara, kami lalu makan malam di kaki lima depan benteng fort Rotterdam. Di traktir sama wakil rakyat dari Takalar itu. Kami hanya ngobrol-ngobrol ringan seputar aktivitas masing-masing. Kebetulan ngobrol dengan wakil rakyat ya temanya sedikit-sedikit tentang politik lokal. Apalagi di kabupatennya akan dihelat pesta demokrasi. Setelah makan kami lalu balik. Sialnya malam itu kak Anca kehilangan helm. Lalu bergerak ke panakkukang menginap di markaz besar.

MIWF-7
Eka Kurniawan Menjelaskan Proses Kreatifnya Berkarya
miwf7
Kolaborasi Krisna Pabichara dengan Luna Vidya
miwf5
Riri Riza beraksi di taman impian

***

Besoknya (21/5) kami kembali ke Rotterdam sore. Nongkrong di taman rasa (kalau tidak salah). Sore itu hostnya adalah Riri Riza, sineas muda yang banyak menyutradarai film-film bagus. Riri Riza sore itu mengenalkan sebuah café legendaris di Makassar. Saya lupa nama warung kopinya. Tapi kira-kira alamatnya seputar kawasan pecinan. Mudah-mudahan tidak salah. Di acara itu saya lagi-lagi berjumpa dengan teman dari Gowa. Ia guru di SMP Muhammadiyah dan aktif sekali di Pramuka. Sore itu ia membawa siswa(i) untuk belajar kebudayaan. Saya tidak mengerti, padahal anak ini dulu kuliah jurusan teknik sipil di Unhas. Entahlah dia mengajar pelajaran apa? Atau dia bagian kesiswaan. Saya tidak menanyainya lebih detail.

Habis magrib saya lagi-lagi bertemu teman. Ia guru. Dulu mengajar di SMA tinggi moncong di lereng Malino sana. Beberapa bulan sebelumnya kami sempat ketemu dalam acara komunitas “Guru Belajar”. Jauh hari saya mengenalkan ia dengan psikologi positif (appreciative inquiry) yang dipromosikan oleh psikolog, Bukik (Budi Setiawan). Dosen Unair yang kini mengambil keputusan untuk berhenti dari kampus. Ia lalu berkomunikasi secara maya dengan mas Bukik. Dan kemudian bekerja sama dalam program “Guru Belajar” yang digagas oleh mas Bukik lewat Cikal, Jakarta. Teman saya ini dulu kuliah di UNM jurusan pendidikan psikologi. Meskin pun pada akhirnya selesai di kampus lain. Saya tidak perlu kenalkan namanya. Cari sendirilah di komunitas “Guru Belajar” Makassar. Atau sering-seringlah mampir ke rumbu coffee di jalan talasapang jika anda ingin mengenalnya.

Habis magrib, Makassar diguyur hujan. Saya ketemu teman diatas pas hunting buku di stand gramedia, yang waktu itu ikut ambil bagian pada acara MIWF. “Oe Mul, apa nu boya”? ia berteriak memanggil saya. Dana suaranya saya hafal persis. Saya menoleh mencari sumber suara. “Oe sakrik, kapan datang”? jawabku saat saya melihatnya (sakrik, dari kata sarikbattang yang artinya saudara dalam bahasa Makassar). “Inai agannu, anrinniko mempo” ucapnya dalam bahasa Makassar, yang kira-kira artinya siapa temanmu. Ayo, sini duduk. “Dengan kak Anca, bos” jawabku.

Kami lalu duduk bertiga di dekat stand. Sembari menunggu hujan reda. Banyak hal dibicarakan mulai dari soal kegiatan masing-masing, buku bacaan terbaru, acara MIWF hingga ikhwal sosial politik. “Mengapa tidak ada dari Salihara, ya”? saya memancing pertanyaan. “Saya kurang tau, tapi mungkin secara nilai yang ingin disampaikan, teman-teman kurator di MIWF berbeda dengan Salihara. Itu pilihan nilai atau mazhab juga. Dan tidak salah tentu” jelas kak Anca. Dan diskusi menjadi bubar tatkala panggung pementasan dimulai. Kami lalu menghambur ke acara.

Malam itu mas Jokopin masih tampil dengan puisi-puisinya, Aan juga. Leannar Achel tampil memukau dengan gitar akustik dan alat music Afrika. Kak Lily yang menyampaikan penutup dan refleksi perjalanan MIWF sejak pertama kali digelar. “MIWF ini anak ketiga saya” jelasnya dengan nada serius. Ada perahu pustaka, teman-teman pegiat literasi dari Papua, penghargaan The Man Booker International Prize 2016 yang diserahkan oleh Direktur World Reader, Nury Vittacy kepada mas Eka hingga pelepasan lampion sebagai simbol kebebasan membaca. Membaca buku apa saja.

Momentum ini menjadi penting ditengah upaya rezim Jokowi-JK melarang bacaan buku-buku komunisme dan berbau kiri lainnya yang marak terjadi berbagai kota. Oh iya, panitia juga menampilkan kurator yang terlibat dalam event MIWF ini. Ada satu nama yang saya kenal. Aslan Abidin. Saya sering ngobrol dengannya saat diasrama Sulsel, saat beliau lanjut S2 di UGM. Acap kali saya mengunjungi sepupu yang kuliah di program sarjana ilmu pemerintahan fisip UGM dan juga tinggal di asrama jalan krasak itu. Dulu saya sering membaca tulisan-tulisannya yang sangat kritis, terutama di tribun. Tahun 2006, saya sempat magang di Pedoman Rakyat dan kak Aslan adalah salah satu redakturnya. Dan malam itu saya tidak sempat bertemu dengannya.

Dan akhirnya MIWF 2016 ditutup malam itu. Beberapa foto saya sempat sharing di media sosial seperti path dan instagram. “salam sama kak Lily” begitu komentar mas Rais di path. Katanya tetangga dengan kak Lily di Australia saat ia studi S2 disana. Tapi salamnya saya tidak sampaikan karena tidak bertemu dengan kak Lily. Saya juga sampaikan bahwa saya tidak kenal secara langsung, hanya mengenalnya lewat tulisan, cerpen dan dulu di situs panyingkul.

miwf8
Musik Lokal, Makassar
miwf6
Pentas Ontosoroh
miwf1
Leannar Achel Beraksi Dengan Musik Tradisional Afrika

***

Apa yang menarik dari acara ini? Ada banyak hal saya kira. Bagi saya pribadi, ini ajang untuk mengedukasi publik Makassar dengan bacaan, sharing lewat penulis, temu dan diskusi sastra. Sesuatu yang tentu memiliki makna penting bagi kota Daeng. Melakukan transformasi dari tradisi lama, badik ke tradisi baru; pena. Asa penamu, kira-kira begitu. Hal lain saya kira adalah ini momentum alih generasi. Saya menyaksikan gairah anak-anak muda yang hadir. Atau bahkan antusias menjadi relawan di event ini. Tentu membahagiakan dan membanggakan. Inilah saatnya kita melakukan pembaruan, melalui regenerasi dari generasi lama yang suka dengan “kekerasan” kepada generasi baru yang literer. Menyukai sastra. Dan rasional. Meninggalkan pepatah lama “pambambangan na tolo” (artinya; emosian, bodoh pulak) ke sesuatu yang lain yang lebih mencerahkan. Seperti yang dianjurkan oleh khalifah Umar Bin Khattab R.A. “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani”.

Catatan saya yang lain yaitu soal locus deliktus, he..he… kata orang hukum. Tempat penyelenggaraan beberapa event yang tersebar di banyak titik. Ini menjadi soal tersendiri. Belum lagi macet yang semakin crowded di Makassar. Mengakses lokasi-lakasi penyelenggaraan acara semakin berat, ini barangkali menjadi masukan buat penyelenggaraan berikutnya. Barangkali bias diselenggarakan meskipun tidak dalam satu area, tapi tidak terlalu jauh, misalnya ke UIN Samata. Ini sekedar contoh saja. Bukan berarti saya tidak suka UIN. Tidak.

Akhirnya saya mengucapkan selamat kepada segenap kru yang terlibat dalam “pesta” ini. Bukan saja kepada penyelenggara tetapi semua; penyelenggara, peserta, pengunjung dan masyarakat literer yang telah menjadi bagian dari kerja kebudayaan ini. Tidak mudah menyelenggarakan event semacam ini secara berkelanjutan kalau bukan karena kegigihan, semangat dan kerja keras. Selamat kak Lily dan tim.

miwf4
Saat Madritista, Juventini & CISC foto bersama
miwf2
Kang Maman dan Pelaku Pustaka Bergerak
miwf3
Kak Lily, Kak Aslan, … & Aan
miwf9
Pelepasan Lampion

2 thoughts on “Sejumput Cerita Dari MIWF 2016

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s