1 Oktober; Hari Kemanusiaan Nasional

Barangkali 1 Oktober layak diperingati sebagai hari kemanusiaan nasional. Dan kita semua bangsa Indonesia patut berkabung untuk itu. Bukan hanya perwira TNI AD yang tewas dalam peristiwa pilu di 1 Oktober 1965, dini hari itu. Tetapi juga jutaan orang yang meninggal dan dibantai sebelum (terutama kelompok Islam) dan pasca peristiwa itu. Dengan dalih “PKI”. Dan peristiwa itu telah membalik seluruh historitas Negeri ini. Boleh dikata itulah titik balik dari seluruh apa yang kita saksikan hari ini. Jakarta yang Macet. Liberalisasi sektor ekonomi dan perdagangan. Termasuk penguasaan terhadap konsesi pertambangan di Indonesia. Pangaturan daerah. Dan lain sebagainya. Dilain waktu saya ingin membuat catatan kecil, soal ekonomi ini kaitannya dengan peristiwa 65 ini.

Terlepas spekulasi mengenai apakah ada peran CIA dalam tragedi itu, yang pasti bahwa pembunuhan itu tidak bisa diterima. Baik pembunuhan kepada para perwira militer dan juga kepada mereka yang dicap PKI – oleh rezim – yang jumlahnya jutaan itu. Padahal menurut John Roosa, peristiwa itu adalah tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya (indoprogress, 2013).

Continue reading “1 Oktober; Hari Kemanusiaan Nasional”

Tentang Buku

Saya teringat pada sebuah senja yang muram di bulan september 2006. Langit Jogja sore itu pekat. Jalan-jalan basah. Hujan baru saja datang menunaikan tugasnya. Dan tatkala reda, jalanan menjadi lengan. Hanya ada kawanan anak-anak muda yang sedang naik motor bergerak ke Wanitatama. Wanitatama bagi mahasiswa yang kuliah di Jogja seringkali berhubungan dengan pameran buku. Dan sore itu kami semua menemuinya. 

Continue reading “Tentang Buku”

Diskusi “Memoar Seorang Anak Kampung”

Agak boring juga tinggal di rumah terus. Sore itu saya keluar rumah. Rencananya mau ke Ininnawa, sebuah lembaga penerbitan dan think tank yang fokus pada isu sejarah, kebudayaan dan literasi. Saya rencana membeli beberapa terbitan lembaga itu. Sejak di Jogja saya sering membaca buku khazanah budaya Sulawesi Selatan. Sederhana saja alasannya. Pada suatu waktu saya ditanya oleh orang Jawa tentang kebudayaan Sulawesi Selatan. Tentu saya kelabakan menjawabnya. Harap maklum, saya tidak pernah belajar khusus kebudayaan Sulawesi Selatan.

Continue reading “Diskusi “Memoar Seorang Anak Kampung””

Singgah Sejenak ke BaKTI

Matahari mulai terik. Panas terasa seperti menindih dari atap rumah. Saya lempar baju. Kuraih sikat gigi dan sabun. Lalu bergegas ke kamar mandi. Hari ini saya rencana mengunjungi perpustakaan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Sudah agak lama rasanya tidak bertandang kesana. Sudah kurang lebih seminggu saya di Makassar. Dan tanpa mengunjungi BaKTI, rasanya gimana gitu?

Continue reading “Singgah Sejenak ke BaKTI”

Dari Bersih Pantai Hingga Nangkar Penyu

Pigiki ngopi-ngopi om Mul di Tempat Biasa, malam ini kebetulan ada teman dari Makassar juga, Jalan-Jalan Seru” begitu SMS om Ben – Sharben – yang masuk ke ponselku sore itu. “Siap meluncur ke TKP” balasku. Aku lalu mengemasi tasku, memasukkan laptop, mouse dan charger. Kuraih kunci dan naik motor ke café Tempat Biasa (TB).

Continue reading “Dari Bersih Pantai Hingga Nangkar Penyu”

Silaturrahim Kawan Seperjuangan

Langit Yogyakarta (baca: Joga) murung sore itu. Di wilayah utara pusat kesultanan Mataram Islam ini hujan. Sebagian lainnya nampak gelap. Sejak siang memang hawanya panas membahana. Tidak biasanya cuaca sepanas ini. Aku rencana ke Surabaya malam nanti lanjut ke Makassar siangnya. Sore itu aku mengantar kawan Moh. Mudzakkir ke stasiun kereta api. Sambil mengantar Jakir, aku sekalian mau beli tiket jurusan Jogja – Surabaya. Harganya Rp. 170.000 Karena berangkat buru-buru dapat tiket Surabaya – Makassar sekitar Rp 600.000 yang normalnya sekitar 300-400 ribu.

Continue reading “Silaturrahim Kawan Seperjuangan”

Catatan Perjalanan ke Borneo (3)

Beberapa hari di Samarinda, Kalimantan Timur, akhirnya saya bisa jalan-jalan. Jalan-jalan pertama, pada hari jum’at. Yaitu sholat jum’at disalah satu masjid di kota itu. Saya dengan beberapa teman menyempatkan diri sholat jum’at di Islamic Centre. Masjid ini cukup megah (catatan Wikipedia menyebut termegah kedua setelah Istiqlal). Berdiri persis di tepi sungai Mahakam. Karena itu di Samarinda, sering disebut dengan tepian. Lokasi itu sekaligus membuat posisi masjid ini menjadi sangat strategis.

Continue reading “Catatan Perjalanan ke Borneo (3)”