Tikala: Warung Kopi Legendaris di Manado


Ruko itu tampak tua. Berlantai dua. Catnya sudah pudar, mengelupas. Tempatnya tidak jauh dari lampu merah perempatan Jln. Sudirman 8, Manado. Pagi itu matahari baru saja beranjak di timur. Jalan sudah mulai ramai. Kota itu nampak bergeliat, bangun dari tidurnya. Dengan sendal hotel, saya berjalan, ditemani Ihsan menuju rumah kopi Tikala, sekitar 100 meter dari penginapan kami.

“Bro, kita ngopi di Tikala” demikian saya mengajak Ihsan pagi itu.

“Di mana itu, Mas”? tanyanya.

“Kalau saya perhatikan, tidak jauh dari penginapan kita, bro” jawabku sembari melihat map di ponsel.

Saya punya kebiasaan mencari tempat ngopi, saban hari jika berkunjung ke suatu daerah. Dan pagi itu, di Manado saya ingin menikmati warung kopi disalah satu tempat legendaris di kota itu. Namanya rumah kopi Tikala.

Suasana tampak ramai. Kursi-kursi kayu terisi hingga keluar. Penuh oleh para pencinta kopi. Asap rokok mengepul. Saya berusaha mencari tempat, menyelidik dengan mata. Dan di dalam ada dua meja kosong. Kami lalu menempati salah satu dari kedua meja itu.

“Ibu, pesan kopi susu dua, ya” ujarku.

“Oke, tunggu ya Pak” jawab Ibu paruh baya penjaga kasir.

Sambil menunggu kopi dan roti bakar pesanan. Saya ngobrol dengan Ihsan. Kami bicara tentang kegiatan kantor. Serta agenda ke Tondano dan jadwal pulang ke Jakarta.

Di rumah kopi ini tidak menyediakan wifi. Apalagi area selfie yang instagramable. Tidak ada. Itu sebabnya, orang nampak intim berbicara. Sesekali orang-orang itu ketawa terbahak-bahak. Menikmati pembicaraan. Entah apa yang diketawai. Suasananya santai dan akrab. Bahkan sebagian ada yang main catur dan caplek.

“Mari Jo Ngopi Di Rumah Kopi Tikala” demikian tagline terpampang diruang tengah kedai kopi itu.

Di Indonesia Timur, mungkin juga di Jawa dan Sumatera ngopi dan waktu senggan, khususnya dipagi hari merupakan tradisi yang sudah lama ada. Orang-orang di Sulawesi punya kebiasaan minum kopi. Makan kue dipagi hari sebelum mulai bekerja atau beraktivitas. Jarang yang sarapan nasi. Ini bisa dilihat dari display makanan yang disajikan di kedai kopi ini. Hampir semuanya adalah kue-kue tradisional.

Suasana kedai ini mengingatkan kedai kopi di kampung saya, di Pulau Selayar. Mirip. Termasuk jam buka dan tutupnya yaitu pagi hingga sore saja. Waktu paling ramai dipagi hari, terutama setelah sholat subuh. Kisaran antara jam 05.30 – 09.00.

Bagaimana dengan cita rasa kopinya? Menurut saya biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Tapi yang menarik dari kedai kopi ini adalah umurnya yang sudah tua. Didirikan oleh keluarga Pak Sui sejak 1930-an. Tentu tidak mudah menjaga nafas, agar kedai ini tetap eksis. Apalagi ditengah berjamurnya kedai kopi yang saat ini banyak menawarkan kemewahan bagi pelanggannya.

Itu sebabnya, saya tidak melihat anak milenial pagi itu. Segmen pasarnya memang kolonial (orang tua). Tapi disinilah letak ke khasan dari kedai ini. Ia mampu mempertahankan racikan kopinya secara turun temurun. Dengan orisinalitasnya, kedai ini mampu membangun identitas sebagai kedai kopi tertua dan legendaris. Sehingga bagi kita yang pertama kali ke Manado, mengunjungi tempat ini penting. Untuk apa? Tentu merasakan bagaimana kopi susu ala kedai kopi Tikala. Sembari merasakan suasana masyarakat Manado beserta kue tradisional kota itu yang banyak dijual di Tikala.

Jadi kalau mau cari cappuccino, expresso atau model kopi kekinian; kedai ini tidak cocok untuk anda. Anda bisa cari ditempat lain.

Di kedai ini, kita diajak menyusuri wajah Manado tempo dulu. Merasakan bagaimana waktu senggang dan ruang publik menyatu dalam percakapan sehari-hari warganya.

Jadi bila anda ke Manado, mampirlah ke tempat ini untuk merasakan sensasi kopi dan kue tradisional sekaligus.

20 – 03 – 2019

5 thoughts on “Tikala: Warung Kopi Legendaris di Manado

Leave a comment