Korupsi Masuk Desa


Dalam satu penggalan cerita di novel “Lumpur”, Yazid R. Passandre, penulis buku itu menggambarkan satu sisi dari korupsi yang acap kali terjadi di desa. Lewat ceritanya, Passandre melukiskan bagaimana Suro, Kepala Desa Renokenongo melakukan permufakatan jahat dengan hulu balang perusahaan dalam negosiasi tanah milik warga Desa.

Bahkan di scane cerita itu, Suro – si Kepala Desa – menunda penyaluran beasiswa yang menjadi hak korban. Hingga kemudian, Tanur, anak dari Daya, janda yang rumah dan tanahnya menjadi korban lumpur mengikuti lomba layang-layang dan menuliskan “anti korupsi” dalam layangan yang dimainkan oleh anak-anak itu. Suro kemudian murka dan memenjarakan Tanur melalui suatu fitnah.

***

ilustrasi-png-korupsi-dana-desa-oke
Sumber: https://media.alkhairaat.id

Apa yang saya bayangkan tentang korupsi di desa mungkin tidak sejauh yang dituturkan oleh Passandra dalam novel realisnya itu. Tetapi cerita mengenai Suro dan hubungannya dengan konsesi tanah menyadarkan saya betapa lemahnya manusia dihadapan hasratnya itu.

Cerita Passandre kemudian mengantar kita dalam perjalanan desa yang kian hari semakin mencemaskan. Kecemasan itu beralasan karena sejumlah data mutakhir menunjukkan bagaimana korupsi beranak pinak di desa.

Kalau Ketua Mao – Mao Ze Dong – dalam wacana gerakan revolusioner mengemukakan jargon “Desa Mengepung Kota”, maka korupsi kini mengepung desa. Berbalik dengan apa yang di populerkan oleh Ketua Mao. Meski pun, jargon desa mengepung kota itu tidak dimaksudkan dalam konteks korupsi, tetapi dalam strategi gerakan kiri dan revolusinya.

Fase pertama kecemasan saya mulai tumbuh saat bergulirnya program-program Community Driven Development (CDD) yang di inisiasi oleh Negara pasca 1998. Yang saya maksud dengan CDD yaitu program pengembangan masyarakat yang di danai oleh program (LOAN NO. IBRD 7664) Bank Dunia. Misalnya, program pengembangan kecamatan (PPK) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dengan ragam variasinya.

Meski program-program tersebut dicatat “berhasil” dalam membangun infrastruktur di desa, tetapi juga membawa efek samping yang mencemari desa. Efek samping itu misalnya, meluruhnya nilai-nilai kebajikan dan kebersamaan masyarakat desa.

Dulu, program-program yang menyangkut kebutuhan masyarakat di desa sepanjang masih bisa diselesaikan oleh masyarakat desa, dilakukan dengan kerja bakti dan gotong royong. Tetapi, saat program-program itu menyerbu desa, tiba-tiba orang-orang desa lalu familiar dengan istilah “proyek” atau “uang transport” kalau di undang rapat. Mereka mulai mengenal fee. Yang sebenarnya merusak kultur masyarakat desa – khususnya desa agraris – yang mandiri dengan kohesivitas sosial yang rapat.

Dalam perkembangan lebih lanjut, elit-elit desa kemudian membangun fragmen dalam kelompok-kelompok berbasis proyek. Hingga kemudian masyarakat desa masuk kedalam fase baru kehidupan pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Fase kedua yaitu saat Negara mengesahkan UU Desa. Fase ini menandai pengakuan Negara yang lebih luas terhadap eksistensi masyarakat desa. Pengakuan ini ditandai dengan kehadiran Negara mengurus soal-soal desa termasuk menganggarkan pendanaan yang jauh lebih progressif plus fasilitator desanya.

Mobilisasi sumber daya yang besar ke desa disatu sisi membawa perubahan positif. Ada desa yang dengan kreatif memanfaatkan dukungan sumber daya dari pusat itu dengan terobosan-terobosan yang menggembirakan. Tetapi jauh lebih banyak lagi desa-desa yang bingun dengan dukungan dana besar itu.

Yang terjadi kemudian adalah terjadinya praktek penyimpangan terhadap dana desa dalam ragam modus koruptif. Indonesia Coruption Watch (ICW) mencatat – sejak 2015 hingga 2018 – ada 181 kasus korupsi dana Desa dengan kerugian Negara mencapai Rp 40,6 Miliar yang melibatkan kepala Desa sebagai aktor paling dominan dalam kasus-kasus tersebut.

***

Apa yang tergambar dalam dinamika korupsi di Desa sungguh mengkhawatirkan. Sehingga perlu ada langkah-langkah penyelesaian. Menurut saya, hal yang perlu dilakukan untuk menguraikan persoalan yaitu melakukan evaluasi, memperkuat asistensi dan pengawasan serta membuka ruang bagi masyarakat lebih luas.

Pertama, melakukan evaluasi. Menurut saya, ada banyak aspek yang perlu di evaluasi mulai dari kehadiran fasilitator desa, proses perencanaan dan penganggaran hingga eksekusi kegiatan pembangunan di Desa. Seberapa efektif kehadiran fasilitator desa ini? Bagaimana proses perencanaan Desa yang dalam praktik lebih banyak copy pastenya ketimbang assesment terhadap kebutuhan rill masyarakat Desa. Atau mengapa praktik koruptif rentan terjadi yang melibatkan aktor kepala Desa? Evaluasi ini perlu untuk merumuskan peta jalan pencegahan dan pengambilan kebijakan yang lebih baik kedepannya.

Kedua, memperkuat asistensi dan pengawasan. Dalam kerja-kerja pembangunan Desa, sudah semestinya proses asistensi dan pengawasan dilakukan secara ketat. Misalnya, bagaimana Dinas Pemberdayaan Desa melakukan sinkronisasi dan pengawasan terhadap penyusunan RPJMDesa dengan RPJM Kabupaten/Provinsi hingga RPJMN. Sehingga kita tidak lagi mendengar ada desa pesisir merencanakan jalan desa untuk pertanian. Dalam hal asistensi, bagaimana melibatkan tidak hanya Dinas, tetapi juga perguruan tinggi dan Organisasi Non Pemerintah (Ornop)/LSM yang punya pengalaman panjang dalam pemberdayaan desa.

Ketiga, membuka ruang partisipasi masyarakat yang luas dengan membuka dokumen-dokumen perencanaan dan anggaran kepada publik. Artinya, melalui keterbukaan (open data) yang dilakukan oleh Pemerintah Desa itu bisa meminimalisir penyelewengan yang mungkin terjadi. Model pengumuman anggaran melalui baliho saya kira tidak cukup, tetapi yang terpenting yaitu bagaimana proses penganggaran dan keterlibatan masyarakat melalui konsultasi publik untuk mengukur seberapa program-program yang disusun oleh Pemerintah Desa merupakan kebutuhan masyarakat atau hanya keinginan dari elit-elit desa.

Harapannya dengan melakukan evaluasi, proses asistensi dan pengawasan serta membuka ruang pastisipasi rakyat maka diharapkan praktik-praktik koruptif bisa diminimalisir. Wa’ Allahu A’lam.

Catatan: Artikel ini telah terbit di harian Tribun Timur, Makassar

Leave a comment