Catatan Perjalanan ke Borneo (2)


Tanggal 15 Juni 2012, sesaat setelah sampai di kampus Universitas Mulawarman panitia pelatihan mempersilakan saya untuk sarapan dan minum lalu ngobrol soal topik diskusi yang akan saya fasilitasi pagi itu. Saya diminta memfasilitasi materi “Gerakan Sosial” dengan waktu yang cukup panjang, pukul 08.00 Wita sampai pukul 23.00 Wita. Saya memilih metode diskusi kelompok dan kombinasi dengan presentasi untuk mendalami tiga gerakan sosial yang berbeda dari negara berbeda, yaitu Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, Sarekat Islam dan landless people’s movement (LPM) di Afrika Selatan.

saya dan peserta sedang menempel flipchart

Dari Jogja aku membawa dua buku, yaitu “Gerakan Modern Islam” yang di tulis oleh Deliar Noer dan “Memahami gerakan-gerakan rakyat dunia ketiga” karya Noer Fauzi. Guna memandu peserta dalam diskusi kecil, saya mengajukan beberapa pertanyaan: (1) konteks apa yang melatari lahirnya gerakan-gerakan tersebut, (2) ideologinya, (3) bagaimana pendekatan aksi yang digunakan dalam mewujudkan cita-citanya, dan (4) momentum politik apa yang membuat gerakan itu bisa mewujudkan cita-citanya?.

Peserta yang umumnya mahasiswa itu sangat serius berdiskusi. Saya cukup senang, bahwa mereka bisa lebih dalam memahami secara detail setiap sisi gerakan itu. Sampai ada diantara peserta yang mementions saya menanyakan apakah organisasi mereka bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial. Artinya selama pagi sampai siang mereka tidak hanya membaca dan kerja kelompok, tetapi juga ada proses refleksi diri (self reflection) bagi mereka. Tidak kala menariknya saat sesi presentasi, tiap kelompok saling bertanya untuk mendalami kajian mereka terhadap ketiga gerakan yang menjadi studi kasus. Saya menutup sesi malam itu dengan mengajak mereka melihat sejenak teori gerakan dan mengaitkannya dengan apa yang mereka diskusikan sejak pagi lalu memberikan catatan akhir untuk menutup sesi.

***

Saya (kiri), Wawan (tengah) & Hamzah Fanshuri (ancha: paling kanan)

Di training itu saya ketemu dengan teman lama saya. Fakhruddin Ahmad. Kini ia jadi salah satu Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Kami dulu nginap di Lompobattang 102 (he..he.. saya masih ingat nomernya), mungkin lebih tepat kalau di sebut ngekost. Walau pun kami punya tempat kost dan dia punya rumah, tapi Lombat 102 (begitu kami menyingkatnya) tetap menjadi tempat persinggahan yang nyaman. Disana kami bisa merokok bareng (dulu kami merokok, 2006 saya berhenti. Saya tidak tau dengan Ust Fahrul), makan bareng (apalagi kalau tidak ada uang) dan main tenis meja. Mungkin satu-satunya olah raga yang kami kenal kala itu. Kalau malam kami berdiskusi hingga larut sambil mendengar Zamrud menyanyikan lagunya dari PC di Sekre.

Di lembaga itu kami belajar soal makna kebebasan. Saya dan Fahrul (begitu kami memanggilnya) seringkali pergi bersama untuk menjadi instruktur Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). IRM Sulsel memiliki lembaga yang concern dengan isu-isu pengembangan pendidikan, LePPAS namanya. Kantornya satu atap dengan IRM dan disanalah kami bikin kantor, membawa buku masing-masing untuk dijadikan perpustakaan kecil. Dindin yang kantor dengan cat kusam kami penuhi dengan tempelan puisi. Kantornya berantakan sekali, karena penuh dengan coretan.

Yang menarik dan sangat berkesan bagi saya, tatkala ia jatuh cinta dengan sosok Immawati (AH; inisialnya). Sorry rul. Ini penting ditulis. Kebetulan kantor kami berseberangan dengan markas DPD IMM Sulsel. Disana ada kawan Ipul (PC IMM Makassar) yang sering kami ejek-ejekan (sorry bro). Juga ada Abduh, dan bung Eman. Jatuh cinta memang mendorong energi yang luar biasa. Ada banyak puisi dan prosa-prosa indah. Setiap hari gurat energi keceriaan terpancar dari wajahmu. Suer.

Menyanyikan sebuah lagu bersama dengan Fahrul

Itu sekelumit flash back. Kini Fahrul tentu tidak seperti yang dibayangkan dulu. Tetapi kreativitasnya masih. Ia masih sering berpuisi. Saat ini lebih religius. Tetapi ia tetaplah anak IRM yang dulu kukenal “nakal”.

Di samping menfasilitasi training, salah satu keinginanku hadir ke Kalimantan tentu ingin bertemu dengan sahabat-sahabat lama yang dulu seperjuangan. Ada Sahrul Akbar, Hamzah Fanshuri dan Awaluddin Jalil. Sahrul (baca: Arul) tidak bisa hadir ke Samarinda. Ia ngajar di pesantren Hidayatullah dan sedang merintis lembaga bimbingan belajar. Karena itu harap di maklumi.

Hari Sabtu, 16/06 Kak Anca (Hamzah Fanzhuri) akhirnya datang ke Samarinda. Ia ditemani istrinya yang asli Sangata, Kutai, Kaltim. Saya meminta dia untuk sharing dengan peserta. Ia menyatakan kesediaannya. Disamping bertemu dengan saya, ia ke Samarinda juga ingin mencari tempat kost. Ada keinginan ia berkiprah di Samarinda.

Setiap malam kami keluar lokasi pelatihan terutama di sponsori oleh Jalil (lengkapnya: Awaluddin Jalil). Saat saya ketua PP ia adalah ketua pw irm kaltim. Saat ini ia menjadi kuli tinta disebuah majalah di Samarinda. Dulu saya sering kali terlibat debat yang sengit dengan Jalil. Tapi kami tetap akrab. Saya diajak ketepian sungai mahakam dan kebeberapa tempat ngopi.

Disana kami berdiskusi ngalor ngidul (kata orang jawa) mulai soal yang remeh temeh sampai ke hal-hal yang serius seperti membincang Negara. Kadang kami pulang jam 01 atau 02 dini hari. Sampai di gesthous kami lanjutkan dengan nonton penyisihan pila EURO. Begitulah kami setiap malam, dan biasanya tidur setelah sholat subuh dan bangun kembali jam 10.00 Wita. Karena pelatih terdiri atas beberapa tim, maka waktu-waktu untuk mendapingi dan memfasilitasi di bagi sehingga walau pun kami tidur dua jam; dua atau tiga jam berikutnya sudah bisa bangun mandi dan ke forum lagi.

Tulisan berhubungan:

Catatan Perjalanan Ke Borneo 1

Catatan perjalanan ke Borneo 3

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s