Rasa Aman di Titik Nol


Ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk. “Kak Eka dijambret, sekarang di rawat di rumah sakit Faisal” kira-kira begitu smsnya Hikma menghambur ke ponselku. Malam itu, kami baru saja pulang dari acara diskusi buku memoarnya Buya Syafi’i Ma’arif di gedung Aisyiyah, jalan Gunung Bulusaraung.

Ilustrasi Jambret (sumber: www.bluefame.com)
Ilustrasi Jambret (sumber: http://www.bluefame.com)

Segara saya mencari tau informasi. Kebetulan Hikma memberikan nomor HP, anak Nasyiah yang menemani Eka di RS Faisal. Saya tanya kabar perihal kondisi Eka. “Sementara diwaratki di RS kak. Lecet-lecet badannya, mulai bibir sampai kaki. Lemas sekali kak. Raip juga tasnya” begitu jawaban yang kuterima.

Segera kami (Saya, Hadi, Abdi & Abul) susul ke RS Faisal. Disana sudah berkumpul beberapa teman. Sementara kami hanya menengok sesaat dan duduk di dekat pintu masuk ruang UGD sambil menunggu perkembangan. Sejatinya malam itu saya sudah membuat janji dengan kawan Ipul (Ridho Saiful Ashadi) untuk ngopi. Ipul ini kawan di IRM Surabaya. Pernah menjadi eksekutif Walhi Jatim. Saya bertemu dengannya waktu mendiskusikan lumpur lapindo di Jogja. Saya mengsmsnya, menyampaikan bahwa ada kawan yang dijambret dan terluka. Akhirnya kami tidak bisa ketemuan.

Mahalnya rasa aman

Apa yang menarik dari peristiwa yang dialami oleh kawan saya diatas, yaitu betapa mahalnya rasa aman itu. Rasa aman yang sejatinya adalah hak bagi mereka yang tinggal dan menghuni kota Makassar. Kita semua warga kota, yang hidup dan membayar pajak ke Negara merasa penting menyoal ini?

Makassar satu diantara kote metropolitan yang sedang bertumbuh pesat. Perkembangannya fantastis. Melebihi rata-rata kota di Indonesia. Perkembangan yang sedemikian rupa itu pastilah membawa dampak ikutan. Satu yang terpenting adalah kriminalitas. Kota metropolitas dan kriminal seperti dua sisi mata uang logam yang susah dipisahkan.

Situasi Makassar memang cukup mengkhawatirkan. Belum lagi ruang publik yang semakin hari hampir tidak ada lagi. Kemacetan yang memerih rasa. Dan banyak lagi persoalan kota yang dihadapi oleh butta anging mammiri ini.

Kita seperti hidup pada setting kota barbar. Suatu keadaan dimana rasa aman adalah barang mewah. Para pemilik rasa aman tentu para priyayi. Ia bisa saja dengan uangnya menyewa jasa keamanan (bodyguard). Sementara mereka yang tidak berpunya hanya bisa meratapi keadaan sebagai korban.

Lalu siapa yang paling bertanggungjawab? Tentu kembali lagi, ini tanggungjawab Negara. Oleh Negara, soal keamanan didelegasikan kepada institusi yang bernama polri. Sayangnya, setiap kali kita bicara tentang polisi, hanya apatisme dan sinisme yang hadir. Tetapi apa pun itu, polisilah yang paling bertanggungjawab terhadap urusan yang satu ini. Mau setuju atau tidak. Begitulah Negara memberikan mandat.

Pertanyaannya kalau begitu, bisakah polisi mengurus keamanan masyarakat? Tentu sebagai lembaga yang dibiayai oleh uang Negara pasti bisa. Kalau bisa, mengapa masih saja terus terulang? Seberapa seriuskah polisi menangani kasus-kasus yang melibatkan kriminal ini. Dan seribu satu macam lagi pertanyaan.

Ya begitulah nyatanya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s