Usai makan, kami bergegas ke arah kota Palembang. Menyusuri jalan utama. Mataku menengok kiri kanan. Memperhatikan kota dengan penghuni wong kito galo ini. Ya mengamati dari sisi yang paling dekat tentang kota ini. Untung saja aku tidak bersama dengan Ayah. Ia acapkali men-judge-ku kampungan. “Nengok kiri-kanan (lihat bangunan) di kota itu kampungan” ucapnya suatu waktu saat menemaniku naik becak di kota kecil, Kabupaten kami. Padahal ia juga tinggal di kampung. He..he…
Mungkin ada sejam lalu melewati Jembatan Ampere yang legendaris itu. Kemudian di flay over mobil jalan ke kiri menuju STIKES Muhammadiyah, Palembang. Oleh panitia aku diinapkan di rusunawa kampus itu. Sampai di rusunawa sudah ada mas Zaky (Dr. Zakiyuddin Baidhawi) dan Romo Paryanto. Mas Zaky adalah staff pengajar di IAIN Salatiga. Penulis sejumlah buku-buku bertema Islam dan Sosial. Alumni IMM UMS. Sementara Romo Par (begitu kami acapkali memanggilnya) adalah senior kami. Ia dulu memang kuliah dan mengajar di Sanatadarma, Jogja. Aktif di Ornop. Aslinya memang Sumsel. Tepatnya di Prabumulih. Kehadirannya di Palembang karena sedang ada program CSR di kampungnya. Sembari menjadi narasumber sekalian.

Juga sudah ada Sark(awi). Hanya saat ku kabarkan, bahwa aku di rusunawa, ia bilang sedang di Jakabaring Sport Center. “Oke lah kalau begitu” jawabku di Whatsapp. Memang sejak di Jakarta ia menanyakan posisiku. “Kita ketemuan ya di Bandara Palembang” janjinya. Tapi rupanya pesawatku dan pesawatnya beda waktu. Ia yang duluan datang. Aku kemudian istirahat. Tidur.
***
Aku menyampaikan materi pagi hari. Tidak dimulai dengan ceramah. Tetapi aku mencoba proses discovery. “Apa pengalaman paling berkesan bagi anda sebagai aktivis IPM”? begitu aku mulai pertanyaan dengan peserta berpasangan.
Dari pertanyaan itu, kemudian muncul jawaban-jawaban yang tidak terduga. Begitu banyak. Variatif. Mengalir alami. Seperti diungkap salah seorang peserta dari Bengkulu:
“Kami punya pengalaman mengorganisir kegiatan literasi disebuah kampung, yang akhirnya mampu bikin ranting” paparnya.
Dari proses diskusi peserta itulah aku bahas apa itu gerakan sosial baru. Bahwa pengalaman-pengalaman kecil Anda itu wujud dari variasi gerakan sosial baru sebenarnya. Dengan pelajar sebagai lokus isu. Untuk menambah diskursus, aku suguhkan beberapa perbandingan dengan sejumlah gerakan di Negara lain. Atau bahkan dalam kasus Indonesia sangat banyak contoh-contohnya. Kasus koint untuk prita (isu kesehatan), misalnya. Di internal IPM sendiri berkembang diskursus gender. Itu semua bagian dari variasi gerakan sosial baru.
Belum kelar pembahasan, sudah diingatkan oleh panitia. Akhirnya tidak berpanjang-panjang. Aku tutup saja, sembari menyodorkan e-mail jika sekiranya ada yang belum puas. Bias dilanjutkan dengan email.

Sore hari usai mengisi materi, kami satu mobil 10 orang jalan-jalan keluar komplek. Kali ini menuju jalan Ahmad Dahlan. Ya apalagi kalau bukan berburu kuliner. Target operasinya yaitu Mie Celor. Milik pak H.M. Syafei Z.
Betapa sesaknya mobil yang kami tumpangi. Semobil diisi 10 orang. Untung gak ada polisi lalulintas yang tilang. Maka bergeraklah kami menuju TKP. Mie ini enak juga. Salah satu kuliner khas Palembang yang wajib dicoba disamping pempek. Kami makan dengan kerupuk khas Palembang yang – legendaris itu – dibuat dari ikan.

Kelihatannya enak mie nya.. . 😉
Alhamdulillah, enak. Rekomended
Wah Mas, konsentrasi langsung buyar pas lihat mienya. Padahal baca dari awal sampe akhir. ahahaha… Jadi kangen Plembang. Makan Mie celor pake amplang nikmat banget pastinya ya…
he..he…. saya suka sekali dengan amplang Palembang; wow.. dulu waktu di Jogja sering dibawain oleh-oleh teman kost yg anak Palembang.
bikin ngiler mie nya 🙂
Komentar ayahnyamirip banget komentar anak Ibu kalau kami jalan-jalan ke mall: “Mama jangan clingak-clinguk lah, itu kayak kampungan, Ma.”
BTW, Makanan favorit lainnya buat ‘wong’ Palembang adalah martabak HAR. Ga nyoba?
penasaran ama mie colornya
Ayo, main ke Palembang